EDITOR.ID, Jakarta,- Peluncuran buku ‘Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan’ yang diselenggarakan keluarga besar anak cucu Hoegeng di Balai Sarwono, Minggu (7/11/2021) menjadi ajang mengenang kebaikan dan kejujuran Kapolri di era 1968-1971 itu.
Acara yang dipandu Pengurus Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Asri Hadi ini berlangsung meriah. Menghadirkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meski secara daring.
Dalam sambutannya Bu Mega mengenang sosok Jenderal Hoegong Iman Santo sebagai Kapolri terbaik.
“Menurut saya, he’s the best (dia yang terbaik) dari zaman Kapolri setelah kemerdekaan. Karena menunjukkan yang tadi saya bilang, that’s the real Polri (dia adalah Polri sejati),” kata Bu Mega.
Presiden ke-5 RI itu mengatakan, Hoegeng adalah polisi dan pejabat yang sangat sederhana. Ia pun bercerita, dahulu semasa kuliah di Universitas Indonesia (UI), kerap bertemu Hoegeng dalam perjalanan menuju kampus.
Sementara Mega menyetir mobil sendiri, Hoegeng mengayuh sepeda. Mereka pun saling bertukar sapa jika bertemu.
“Dia suda tahu mobil saya. Dia dari jauh tahu naik apa? Naik sepeda. Mana ada Kapolri naik sepeda kayak dia. Dia naik sepeda ketemu di jalan, lalu minggir dulu. Saya biasa manggil, ‘om mau ke mana? Malu-maluin masa Kapolri naik sepeda.’ Lalu dijawab, “ya nggak apa-apa, ini kan sekalian olahraga’,” tuturnya.
Selain itu, menurut Mega, Hoegeng merupakan orang yang penuh dedikasi. Ia pun berharap semangat serupa dimiliki anggota Polri masa kini.
Setelah Bu Mega giliran pandangan Kapolri soal Hoegeng yang ditampilkan dalam bentuk tertulis unggahan media sosial.
Kapolri menyitir humor satire yang pernah diucapkan oleh KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang terlanjur berkembang di masyarakat. Satire itu menyatakan hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Kapolri ke-5 Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso.
Menurut Kapolri, humor satire itu mencerminkan sulitnya mencari polisi berintegritas dan jujur di Indonesia. “Munculnya humor tentang ‘cuma ada 3 Polisi jujur di Indonesia yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng’ seakan telah melegitimasi bahwa sangat sulit mencari Polisi jujur & berintegritas di negeri kita,” sebut Kapolri.
“Ini menjadi tantangan bagi saya untuk dapat mengubah citra Polri di masyarakat,” lanjutnya.
“Saya optimis dapat mewujudkan hal tersebut,” sebut Kapolri yang yakin masih banyak polisi teladan yang memang tulus mengayomi dan melayani masyarakat.
“Diluar sana, saya yakin masih banyak sosok figur Polri jujur & berintegritas yang mampu menginspirasi personel lainnya.”
“Polri akan terus berbenah untuk menjadi Polri yg diharapkan & dicintai masyarakat,” tulis Kapolri.
Dalam acara peluncuran Buku Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan, hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut yaitu Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, Wantimpres sekaligus sahabat Pak Hoegeng, Forouk Arnaz, penulis buku, dan Adytia S. Hoegeng, perwakilan keluarga Pak Hoegeng.
Acara diskusi peluncuran buku dipandu oleh Pengamat Sosial Politik dan Militer sekaligus Dosen IPDN, Drs Asri Hadi, dan pembawa acara oleh Ferdy Hasan.
Selain itu, acara lauching buku ini juga dihadiri oleh para tokoh nasional di antaranya, Komjen Arief Sulistyanto, mantan Wakapolri, Komjen (Purn.) Drs. Nanan Soekarna, Japto S Soeryosoemarno, Komedian Indro Warkop dan sejumlah tokoh lainnya.
Kehadiran buku “Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladan” menjadi sebuah harapan klalayak Indonesia kepada institusi kepolisian dan para anggotanya untuk meneladani kebaikan, kejujuran dan integritas Jenderal Hoegeng.
Di dalam buku ini, mantan Kapolri yang bernama lengkap Hoegeng Iman Santoso itu kerap disebut sebagai panutan bagi institusi Polri. Buku ini mengambarkan secara jelas bagaimana ia menjaga integritasnya sehingga menjadikannya sebagai polisi sejati, yang menjalankan amanah sesungguhnya.
Dalam buku setebal 339 halaman karya wartawan senior Farouk Arnaz itu, selama karirnya, Jenderal Hoegeng digambarkan sebagai manusia langka yang belum ada padanannya dari dulu hingga kini.
Betapa tidak, sejumlah posisi strategis dan basah pernah dijabatnya. Namun ia mampu mempertahankan prinsip, menjaga integritas, dan dedikasi. Itulah warisan yang ditinggalkannya: keteladanan.
Keteladanan Jenderal Hoegeng sebagai polisi sudah mencapai titik paripurna. Bahkan ia tak sendiri, ia juga mengajak serta keluarganya untuk terjun memasuki kehidupan yang penuh idealisme dan antikompromi yang sesunggunya sangat sulit untuk dijalankan.
Hoegeng tidak mau berkhianat dan berkongsi dengan kebohongan. Ia menjaga nama baik dan bersumpah dengan perbuatan nyata bukan sekadar kata-kata.
Buku ini berisi testimoni orang-orang terdekat Hoegeng, dari ?dapurya? Hoegeng-yang tanpa dukungan, keikhlasan, dan pengertian mereka–tentu perjuangan Hoegeng akan lebih berat. Sebab Hoegeng adalah suami, Hoegeng adalah ayah, dan Hoegeng adalah kakek.
Hoegeng, yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, bukan tipe Kapolri yang hobi main golf ? karena tidak mampu beli stik. Dia juga tidak mampu membeli rumah dan mobil pribadi dan akhirnya pensiun dini menjelang usia 50 tahun setelah dicopot sebagai Kapolri.
Buku ini adalah bagian dari merayakan 100 tahun Hoegeng untuk merayakan keteladanan, merayakan kejujuran dan merayakan kebenaran.
Saat memberikan testimoni soal Hoegeng, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto mengatakan, Hoegeng adalah polisi jujur dan penuh keteladanan.
Hoegeng, lanjut Sidarto, tidak mengenal kompromi untuk menegakkan hukum telah diakui berbagai kalangan.
“Terus terang, tidak mudah sampai hari ini menemukan keteladanan yang dilakukan beliau,” katanya.
Pemandu acara Asri Hadi mengatakan sosok Hoegeng adalah fakta sejarah bahwa di Indonesia pernah ada polisi yang jujur dan berintegritas. Oleh karena itu Asri berharap kisah keteladanan yang diurai dalam isi buku tersebut bisa diketahui para anggota kepolisian dan menjadi panutan dalam menjalankan pengabdian sebagai anggota Polri.
“Kita perlu menghadirkan kepada generasi muda dan anak cucu kita akan lahir Hoegeng-Hoegeng baru yang memiliki karakter sederhana, sifat kejujuran dan integritas,” kata Asri Hadi.
Sebelum menjabat sebagai Kepala Kepolisian kelima RI selama tahun 1968-1971, Hoegeng ternyata memiliki cerita panjang mengenai perjalanan hidupnya. Dari polisi pangkat rendahan yang tak bergaji hingga menjadi orang nomor satu Polri.
Seperti yang diceritakan dalam buku “Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan” karya Abrar Yusra dan Ramadhan KH, pada 31 Oktober 1946 Hoegeng menikah dengan Merry Roeslani.
Pertemuan keduanya berawal dari sebuah drama radio berjudul “Saija dan Adinda” yang diangkat dari buku “Max Havelar” karya Douwes Dekker.
Kisah asmara di tengah konflik yang ada dalam cerita itu akhirnya benar-benar menjadi kisah nyata bagi Hoegeng dan Merry. Namun, berbeda dengan akhir tragis yang ada dalam buku “Max Havelar”, Hoegeng dan Merry memilih menikah.
Hoegeng saat itu masih berstatus mahasiswa di Akademi Kepolisian di Yogyakarta. Namun, agresi Belanda menyebabkan akademi itu tidak jelas nasibnya.
Pada suatu hari, Hoegeng mendapat tugas dari Kapolri Soekanto Tjokrodiatmodjo untuk menyusun jaringan sel subversi, menghimpun informasi, hingga membujuk pasukan NICA untuk membela Indonesia.
Saat itu Hoegeng tak digaji. Namun, ia tetap menjalankan tugas dengan rasa nasionalisme yang tinggi. Hoegeng juga pernah bekerja menjadi pelayan restoran yang biasa didatangi orang Indonesia dan orang Belanda bernama “Pinokio”.
Di restoran itu lagi-lagi tak ada gaji untuknya. Sebagai ganti, pemilik resto memberikan makanan gratis tiap hari untuk pegawainya, termasuk Hoegeng.
Di tempat yang sama, Merry, istri Hoegeng, berjualan sate untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak ada seorang pun yang tahu Hoegeng dan Merry adalah pasangan suami istri saat itu. (tim)