Penulis: Darmaningtyas
Mentalitas bangsa kita memang mentalitas reaktif bukan antisipatif. Hal itu terlihat jelas dari kasus tenggelamnya tiga kapal rakyat yang terjadi pada masa musim mudik Lebaran.
Yaitu, pertama, kecelakaan speed boat di Pulau Maspari Sumatra Selatan yang menelan korban tiga orang. Kedua, tenggelamnya KM Arista di Perairan Makassar, Selat Gusung dengan korban 16 orang. Ketiga, tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba pada tanggal 17 Juni. Belum ada kepastian jumlah korban dalam kecelakaan di Danau Toba itu, namun diperkirakan lebih dari 63 orang.
Kita semua baru peduli pada nasib angkutan air setelah terjadi kecelakaan kapal secara beruntun. Seandainya kita terbiasa bertindak antisipatif, mungkin bencana beruntun tersebut dapat dicegah.
Penulis sesungguhnya telah membaca masalah pelayaran rakyat di Danau Toba pada saat bersama Puslitbang Laut, Balitbang, Kementerian Perhubungan melakukan kajian tentang prasarana dan sarana transportasi menuju ke Pulau Samosir –pulau yang posisinya berada di tengah danau Danau Toba—akhir 2016 lalu.
Kajian tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi, termasuk pentingnya perbaikan prasarana dan sarana transportasi yang ada. Penulis melihat bahwa baik prasarana (pelabuhan/dermaga) maupun sarana (kapal) yang melayani mobilitas di sekitar Danau Toba banyak yang tidak memenuhi aspek keselamatan. Bahkan dapat dikatakan 90 persen prasarana dan sarana tersebut tidak memenuhi aspek keselamatan.
Berdasarkan pengetahuan dari lapangan tersebut, pada rapat persiapan angkutan Lebaran 2017 penulis mengusulkan pentingnya penambahan kapal feri dan mengusulkan kepada Direktorat Keselamatan Transportasi Darat (KTD) Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan untuk membagikan baju pelampung (life jacket) kepada operator kapal di Danau Toba.
Usulan penambahan kapal feri tidak dapat dilaksanakan seketika karena perlu dimasukkan dalam ABPN. Pada tahun 2018 ini Kementerian Perhubungan menganggarkan pembuatan dua unit kapal feri untuk Danau Toba.
Sedangkan pembagian life jackettahap awal telah dilakukan November 2017 lalu. Memang jumlahnya masih terbatas. Meski begitu, hal tersebut adalah awal kepedulian pemerintah untuk mewujudkan keselamatan transportasi di kawasan Danau Toba.
Sekarang juga tengah dibangun galangan kapal di Parparean, Porsea, yang dimaksudkan menjadi tempat kapal-kapal melakukan docking. Selama ini kapal-kapal yang beroperasi di Danau Toba tidak pernah mengalami dockingkarena memang tidak ada tempatnya.
Dibiarkan sendiri
Kehadiran negara dalam transportasi air yang diselenggarakan oleh masyarakat, termasuk di Danau Toba memang masih minim. Khusus di kawasan Danau Toba, perhatian itu baru terasa setelah masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan kawasan Danau Toba sebagai salah satu tujuan wisata prioritas.
Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, saat ini sedang dibangun lima dermaga feri, pembuatan dua kapal feri, pembuatan galangan kapal, ada pembagian baju pelampung (life jacket), serta tengah dirancang pendidikan dan latihan untuk para awak kapal. Diharapkan dengan adanya perbaikan prasarana dan sarana tersebut dapat meningkatkan layanan transportasi yang berkeselamatan di kawasan Danau Toba.
Kondisi pelayaran rakyat yang tidak berkeselamatan itu tidak hanya ada di kawasan Danau Toba saja, tapi terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Hampir semua angkutan air kita, baik yang berbasis laut, sungai, danau, maupun perairan yang diselenggarakan oleh masyarakat tumbuh dan berkembang atas inisiatif warga sendiri dan minim peran negara.
Wajar bila kemudian muncul kasus seperti yang menimpa KM Arista di Sulawesi Selatan atau KM Sinar Bangun, karena mereka memang dibiarkan jalan sendiri, tanpa pembinaan, pengawasan, apalagi bantuan. Merekalah yang membangun dermaga sendiri, membeli kapal sendiri, dan mengatur perjalanannya sendiri, sehingga tidak pernah mengenal manifes penumpang karena beli tiketnya di atas kapal.
Kapal mereka juga tidak pernah docking karena tidak ada tempatnya. Masyarakat mau menggunakan kapal-kapal tersebut karena itulah satu-satunya layanan transportasi yang tersedia, dan tidak ada pilihan lain.
Pemetaan dan tata ulang
Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No. 25 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Transportasi Sungai, Danau dan Perairan. Ada empat standar keselamatan yang diatur dalam PM No. 25/2015 tersebut. Yaitu standar prasarana dan sarana, sumber daya manusia (SDM), standar operasional prosedur (SOP), dan lingkungan.
PM No. 25/2015 ini mestinya menjadi acuan pembinaan dan pengembangan pelayaran rakyat. Namun sangat mungkin 90 persen operator pelayaran rakyat tidak tahu PM tersebut. Atau, bila mengetahui pun, sulit melaksanakan karena perlu dana besar.
Mustahil bagi operator pelayaran rakyat bila harus melakukan investasi lagi untuk membangun dermaga dan kapal yang berkeselamatan, membeli life jacket, membayar tenaga untuk mengatur perjalanan, serta menyiapkan awak kapal yang bersertifikat.
Semuanya itu hanya mungkin terwujud bila ada peran besar dari negara. Peran negara tersebut dapat diwujudkan dalam beberapa tahapan.
Pertama, Kementerian Perhubungan perlu segera melakukan pemetaan jumlah dermaga dan kapal rakyat yang ada saat ini -mengingat kita memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang semuanya dilayani oleh pelayaran rakyat, jenis kapal yang dioperasikan, serta kompetensi yang dimiliki oleh awak kapal. Databaseini penting sebagai dasar untuk melakukan perencanaan pengembangan dan pembinaan.
Kedua, membuat master plan pengembangan dan pembinaan pelayaran rakyat sampai 20 tahun ke depan dan diimplementasikan secara bertahap di setiap pulau. Dengan demikian setiap tahun di setiap pulau (kecil) ada perbaikan layanan pelayaran rakyat.
Ketiga, mulai langkah kecil tapi konkret, yaitu membagikan life jacket kepada komunitas-komunitas pelayaran rakyat yang disertai dengan pendidikan publik agar masyarakat menggunakannya dalam pelayaran mereka. Pembagian life jacket ini harus menjadi program tahunan Kementerian/Dinas Perhubungan sehingga dalam waktu 20 tahun mendatang semua pelayaran rakyat sudah menggunakan life jacket.
Keempat, tidak kalah pentingnya, adalah mengedukasi publik agar memiliki budaya keselamatan dalam bertransportasi di air. Terlepas dari muatan yang berlebih, beredar rumor bahwa tenggelamnya KM Sinar Bangun itu terkait dengan penumpang yang melanggar kearifan lokal – misal, berkata atau berbuat jorok saat di dalam kapal. Kearifan lokal seperti itu ada di setiap pulau dan harus terus direproduksi dan diberitahukan kepada setiap pengguna kapal agar tidak dilanggar.
Kelima, membangun sinergi antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan kewenangan koordinasi kapal berdasar ukuran bobot atiya. Sinergi itu perlu dibangun demi terwujudnya keselamatan angkutan air yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Penulis Darmaningtyas
Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) dan Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia)