EDITOR.ID, Jakarta, – Dalam rangka Peringatan Haul Bung Karno, DPP Gerakan Pembumian Pancasila (GPP) menyelenggarakan Bedah Buku Pancasila dan Publikasi Jurnal Pembumian Pancasilasecara virtual pada hari Minggu, 20 Juni 2021, diawali dengan Seremonial Kebangsaan dan Refleksi Haul Bung Karno.
Hadir dalam acara Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, S.H. (Wantimpres RI) yang memberikan Refleksi Haul Bung Karno ke-51, Badan Pendiri GPP, dr. Andi Talman Nitidisastro, para Dewan Pembina DPP GPP, Ketua Umum DPP GPP, Dr. Antonius D.R. Manurung, M.Si. dan Sekretaris Jendral DPP GPP Dr.Bondan Kanumoyoso, M.Hum (sekaligus keduanya sebagai penulis Buku Pancasila), serta para narasumber: Dr. Muhammad Sabri, M.Ag (Direktur Pengkajian dan Materi BPIP), Dr.Drs.Chandra Setiawan, M.M., Ph.D. (Ketua Dewan Pakar DPP GPP), dan Ir. Hertoto Basuki (Badan Pendiri GPP).
Dalam Sambutannya, Ketua Umum DPP GPP, Dr. Antonius D.R. Manurung, M.Si. menyampaikan pentingnya Memaknai Peringatan Haul Bung Karno ke-51 bagi Generasi Bangsa, terutama dalam memahami ?legacy? yang telah disampaikan oleh Bung Karno sebagai Bapak Bangsa kepada Anak Bangsa. Dengan demikian, generasi bangsa ke depan mampu membangun ?legacy? untuk bangsa, mewarisi api dan roh perjuangan Bung Karno.
Mayjen Pol (Purn) Drs. Sidarto Danusubroto, S.H., dalam refleksinya menyampaikan apresiasi dan rasa bangga atas acara Peringatan Haul Bung Karno ke-51 yang diselenggarakan oleh DPP GPP, menceritakan pengalaman bersama Bung Karno, terutama dalam mendampingi Bung Karno hingga akhir hayatnya.
Dalam suasana kebatinan yang mendalam, tokoh yang pernah menjadi ajudan Sukarno, Presiden RI Pertama ini menyatakan warisan pemikiran dan ajaran Bung Karno dengan segala kelebihannya dan sangat berkualitas sebagai negarawan.
Namun, sungguh tragis, di akhir hayatnya, Bung Karno meninggal dunia dalam kesepian dan kesendirian sebagai tahanan rumah. Sidarto menyaksikan bagaimana derita seorang pendiri bangsa yang ditahan dan melihat kondisi kesehatan menurun.
Terasa semakin pedih ketika mendengarkan kata-kata Bung Karno yang menyayat sukma, ?Saya boleh ditahan dan dikucilkan dan lama-lama akan meninggal dunia, tapi catat Tok bahwa jiwa-semangat ideologi saya tidak akan bisa dibunuh?. Sidarto dengan penuh penghayatan mengulangi kembali kata-kata Bung Karno, ?Semangat ideologi saya tidak bisa terbunuh?.
Dalam kesempatan Peringatan Haul Bung Karno ke-51, juga diadakan Bedah Buku Pancasila dengan judul: ?Pancasila sebagai Dasar Negara, Ideologi, dan Spiritualitas Bangsa yang ditulis oleh Dr. Antonius D.R.Manurung, M.Si. dan Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum., dimoderatori oleh Ketua V Bidang Riset, Inovasi, dan Publikasi, Sofian Purnama, S.Hum., M.Hum., yang sekaligus menjadi editor buku ini.
Sebagai editor, Sofian Purnama menyajikan saripati dari buku Pancasila, terutama terkait dengan hal baru, diantaranya proses pembumian nilai-nlai Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menstimulir perilaku-perilaku keseharian yang tampaknya semakin menjauh dari Pancasila dan mencerminkan memudarnya Pancasila akhir-akhir ini.
Selain itu, pembelajaran tentang Pancasila selama ini masih dalam tataran Pancasila sebagai dasar negara. Kalaupun ada pembahasan tentang Pancasila sebagai ideologi, hanya sebatas tataran konseptual.
Sementara, pemahaman Pancasila sebagai spiritualitas bangsa selama ini relatif belum dipahami dengan baik. Disinilah keunikan dan keotentikan dari buku Pancasila yang akan kita bedah ini, ujar Sofian.
Dalam paparannya, Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum. mewakili kedua penulis mengungkapkan mengungkapkan ide penulisan buku berawal dari keprihatinan terhadap situasi di Indonesia akhir-akhir ini.
Terasa bahwa ada kekosongan dalam narasi yang mengusung Pancasila sebagai sumber acuan dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia.
Ada berbagai buku tentang Pancasila yang ditulis dengan baik, tetapi buku-buku itu terutama ditujukan untuk kepentingan akademis atau sebagai buku pegangan untuk mahasiswa dalam perkuliahan Pancasila.
Karena itu dirasa menjadi sangat perlu bagi DPP GPP untuk mengisi kekosongan dan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap adanya suatu buku pegangan yang dapat memberi inspirasi tentang berbagai strategi untuk membumikan Pancasila
Pembedah buku yang pertama, Dr. Muhammad Sabri, M.Ag. (Direktur Pengkajian dan Materi BPIP) menyampaikan apresiasi positif atas penulisan buku Pancasila pada momentum yang tepat di Bulan Pancasila, Hari Lahir dan Haul Bung Karno.
Menurut Dr, Sabri, Buku Pancasila ini sangat luar biasa karena menautkan 3 (tiga) fundamental idea yang diinspirasi dari pidato Bung Karno, Philosphische Grondslag dan Weltanschauung, yakni dasar negara, ideologi, dan spiritualitas bangsa.
Ketika ketiga ide ini dihimpun menjadi satu karya, boleh disebut ini sebagai ide raksasa karena mencakup 2 (dua) hal mendasar, baik menyangkut bangunan filosofis yang melahirkan dasar negara, maupun Weltanschuung terkait dengan ideologi dan spiritualitas bangsa, ujar Direktur Pengkajian dan Materi BPIP ini.
Lebih jauh, Dr. Sabri menekankan bahwa buku ini sangat ketat mempertimbangkan aspek historisitas yang otentik, sehingga memberi ruang pemikiran yang luas.
Untuk itu, ada baiknya ke depan dapat dibangun kerjasama antara BPIP dengan DPP GPP dalam hal penerbitan buku secara bersama dengan sentuhan tersendiri.
Dalam kesempatan ini, Dr. Sabri menyetir pemikiran Foucault, dengan mengedepankan jejak historisitas menjadi penting ketika diletakkan dalam sejarah gagasan, dimana Pancasila sebagai sebuah teks atau rumusan dapat dikatakan memiliki makna yang mendalam ketika terdapat keterhubungan dengan sejarah gagasan, yang diletakkan bahwa dibalik teks ada makna yang mengalir, sebuah proses dialektika.
Hal lain yang menarik dan tidak kalah penting sebagai sesuatu wacana kekinian dan baru dalam buku ini adalah Pancasila sebagai Spiritualitas Bangsa (=spiritus, sukma, jiwa bangsa), yang mana kalau kita memahami sesuatu dibalik Weltanschauung itu, ada sukma, ada jiwa, sebagai wujud keluhuran budaya, agama, dan kepercayaan, cetus Dr. Sabri.
Pembedah buku kedua, Dr. Drs. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D. (Ketua Dewan Pakar DPP GPP), menekankan bahwa pendekatan psikohistoris sudah sangat tepat digunakan dalam penulisan buku ini, dimana pemahaman tentang Pancasila pada dasarnya sudah dipraktikkan sejak dahulu kala di bumi Nusantara.
Lebih jauh, Ketua Dewan Pakar DPP GPP ini menyoroti secara khusus mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan kekuatan pemersatu dengan menegaskan satu-satunya dasar negara yang dapat menghimpun seluruh unsur masyarakat Nusantara dan menyatukannya sebagai bangsa Indonesia adalah dasar negara yang digali dari dalam bumi dan masyarakat Nusantara, yaitu Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya digali oleh Sukarno sejak usia 16 tahun, dipidatokan pada 1 Juni 1945, dengan rumusan sila-silanya dalam naskah Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, dan disahkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan rumusan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, imbuh Dr. Chandra. Sebagai dasar negara,
Pancasila merupakan sumber segala sumber tertib hukum nasional yang dijadikan sebagai acuan dalam menilai hukum yang berlaku di negara Indonesia, menjamin dan merupakan perwujudan yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Hukum di Indonesia tidak membenarkan perubahan Pancasila, karena mengubah Pancasila berarti mengubah dasar atau asas negara, tegasnya.
Ketua Wankar DPP GPP ini menambahkan pentingnya memahami:
1) perbandingan hierarki peraturan Perundang-undangan Nasional dan Sumber Hukum yang berlaku di negara Indonesia,
2) pengamalan nilai-nilai Pancasila,
3) manifestasi Pancasila sebagai dasar negara secara lebih spesifik,
4) pembatasan kebebasan beragama dan menjalankan agama/kepercayaan,
5) pelemahan sistem hukum nasional,
6) agenda transformasi mengembalikan wibawa Pancasila sebagai dasar negara,
7) penguatan manifestasi nilai keadilan Pancasila bagi penegakan hukum.
Selanjutnya, pembedah buku ketiga, Ir. Hertoto Basuki (Badan Pendiri GPP) di awal pemikirannya memberikan apresiasi positif atas buku Pancasila dalam memperkaya literasi tentang Pancasila di Indonesia, khususnya terkait dengan Spiritualitas Pancasila.
Menanggapi catatan penulis dalam upaya pengembangan literasi Pancasila ke depan, Ir. Hertoto mengajukan sebuah pertanyaan dan pernyataan kritis, ?apakah mungkin ke depan ada buku yang berjudul Pancasila di dalam ?puting beliung? rumah sendiri?? serta berharap ada buku yang merangkul semua pihak dan kemudian menjadi spirit bersama dengan mencoba membaca Sukarno secara utuh dalam keutuhan spiritualitas Pancasila.
Menurut Dewan pakar MLKI ini, Spiritualitas Pancasila pada saat ini masih jauh dari belum, dimana masih banyak korupsi, ada kemiskinan, terjadi pembiaran penguasaan oleh konglomerat, ketimpangan daerah, dan SDM yang masih rendah.
Sebenarnya Bung Karno sudah pernah mengingatkan kita, dimana bila kita tidak waspada, maka bangsa ini akan menjadi kuli di negaranya sendiri (SDM yang bekerja sebagai buruh dan pemerintah yang oligarki).
Oleh karenanya, sangat perlu memahami hakikat Sukarnoisme yang menghantarkan Marhaenisme, Pancasila, dan Trisakti, ujarnya.
Untuk itu, dalam upaya mengembangkan Spiritualitas Pancasila sebagai perekat persatuan bangsa (ikatan batin bagi seluruh suku, etnis, keyakinan bangsa Indonesia), maka perlu dibangun karakter Spiritual Pancasila dengan memperhatikan ketegaran jati diri anak bangsa, peta moral keindonesiaan dalam membangun moral keindonesiaan (kualitas spiritual, intelektual, sosial, berbangsa dan bernegara), memahami spiritual Pancasila seutuhnya, memahami Pancasila dalam implementasi dalam bingkai TRISAKTI (berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan), sehingga terbangun karakter keindonesiaan yang utuh, imbuh Hertoto Basuki, mengakhiri paparannya.
Dalam sesi tanya, muncul sejumlah pertanyaan dari para peserta. Dari sejumlah pernyataan dan pertanyaan, dapat disarikan dalam dua besar, yaitu:
1) Pancasila sebagai spiritualitas yang diulas dalam buku ini sangat menarik untuk digali. Paham ketuhanan dalam Pancasila ada dalam pemahaman agama-agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Kemahaesaan Tuhan merupakan konsekuensi logis dari hakikat manusia sebagai makhluk beragama/berkepercayaan. Bagaimana kita mengelaborasi lebih jauh penjabaran yang benar kemahaesaan Tuhan dalam konteks pluralis agama dan kepercayaan di Indonesia yang sering dipersoalkan?;
2) Bagaimana upaya yang dapat dilakukan setelah nilai universal Pancasila dimaknai menjadi satu hal yang segera dan mendesak agar ada suri tauladan dari para pemimpin bangsa saat ini sehingga gelar negarawan dapat disandangkan kepada mereka dan dikenang untuk penerus bangsa di masa depan? Saat ini banyak terlihat kemewahan diikuti dengan keserakahan oleh pada penguasa dan pengusaha, ditambah sikap sembarangan (kurang beretika) dan boros, sedangkan di sisi lain terjadi sebaliknya.
Tanggapan Narasumber:
Dr. Muhammad Sabri, M.Ag.
- Spiritualitas Pancasila berbasis pada 2 (dua) sumber nilai luhur yang digali oleh Bung Karno, yakni yang bersumber pada tradisi agama-agama/kepercayaan dan tradisi budaya.
Kedua sumber inilah yang perlu dikonstruksi kembali ke dalam ide-ide atau gagasan yang bersifat spiritual. Sebab itu, spiritualitas Pancasila sedapat mungkin dikonsolidasikan dan dikonsultasikan ulang kepada tradisi agama/kepercayaan dan budaya. Ide tentang yang ilahi sesungguhnya sudah dimengerti dalam konstruksi yang beragam jauh dalam sejarah kebangsaan kita sebelum NKRI ini berdiri.
Karena itu, dalam studi agama-agama, dikenal konsepsi tentang konstruksi ketuhanan (teologi) dalam 2 (dua) paras (teologia affirmativa dan teologia negativa).
Turunan teologi ini direngkuh oleh Bung Karno dan inilah yang dipandang sebagai kecerdasan yang luar biasa, suatu genius terbesar di abad ke-20. mengkonstruksi satu narasi yang kemudian disebut Ketuhanan Yang Maha Esa.
Semua agama, baik bangunan teologia affirmativa maupun teologi negativa dirangkul dalam satu narasi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Teologi negativa dalam perspektif studi agama-agama disebut sebagai Tuhan yang tidak dapat dirumuskan, Tuhan yang tak tercakapkan, Tuhan yang Maha misterium, Tuhan yang tidak bisa diselami/ terselami.
Sedangkan teologia affirmativa sebagai teologi yang dapat didekati melalui sifat-sifatnya, Tuhan melalui nama-namanya, dan ciptaannya.
Di Indonesia ini, dalam permenungan Bung Karno rupa-rupanya diwarnai oleh 2 (dua) warna teologis itu, ada teologis yang berbasis pada agama-agama mainstream, misalnya umumnya bersandar pada teologi affirmativa, misalnya dipahami melalui kitab-kitab suci.
Ada juga agama-agama/religi nusantara yang berbasiskan pada teologia negativa. Inilah eloknya bahwa ide tentang Tuhan Yang Maha Esa justru digagas oleh Bung Karno.
Kalau kita mau mencermati pidato 1 Juni 1945, beliau menyatakan, ?saudara-saudara, saya akan akan berpesta raya ketika tuan-tuan setuju tentang dasar negara yang akan kita gunakan adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Ketuhanan yang Maha Esa oleh Bung Karno bukan hanya Ketuhanan yang berkebudayaan saja, bukan Ketuhanan yang welas asih, saling menghormati saja, atau Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur saja, tapi beliau mencanangkan sejak awal tentang Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ini yang banyak orang tidak paham sebelum narasi itu dirumuskan secara formal dalam 18 Agustus 1945.
Pengetahuan ini sangat penting, terutama dikaitkan dengan studi lintas agama berparadigma Pancasila, bagaimana melihat sila-sila dalam Pancasila dalam perspektif lintas iman. Jadi, karena keterputusan gagasan inilah dan kita tidak mengapresiasi kedalaman konseptualnya, maka kita akan bisa memahami tidak sedikit orang atau kelompok orang yang berusaha membenturkan antara agama di satu sisi dengan Pancasila di sisi lain.
Konstruksi Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sesuatu yang mengayomi teologi affirmativa dan teologi negativa.
- Salah satu masalah kebangsaan kita adalah bagaimana Pancasila harus menjadi teladan, bagaimana nilai-nilai keilahian dan kemanusiaan meresap dalam diri kita, pentingnya nasionalisme dan persatuan, bagaimana bermusyawarah dan ide tentang kesejahteraan sosial.
Kita tidak lagi berwacana. Saat ini nyaris defisit dalam konteks praksis. Pemahaman praksis dalam hal ini adalah konseptual dan aktual. Jadi teladan pemikiran dan teladan aktual. Jangan hanya teladan aktual saja, karena Pancasila adalah Philosophische Grondslag, basis pengetahuan filosofis yang harus ada turunan-turunannya secara teoritis dan karena itu harus didorong bahwa Pancasila setelah menjadi ideologi, juga harus menjadi bangunan epsitemologi.
Oleh karenanya, praksis yang dimaknai adalah nyaris pada defisit praksis dalam pengertian konseptual dan aktual.
Jadi teladan-teladan konseptual yang telah ditunjukkan adalah rintisan penulisan, bedah buku, penerbitan, dan publikasi utnuk mengisi kekosongan. Teladan bukan hanya praktik moral, tapi juga moral intelektual dan moral publik. Selanjutnya, mari kita berlomba-lomba untuk menunjukkan sikap dan perilaku Pancasilais sebagai teladan pemikiran dan aktual.
Dr. Drs.Chandra Setiawan, M.M., Ph.D.
- Pancasila sebenarnya diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri dan digali oleh Bung Karno, yang merupakan sublimasi dan kristalisasi berbagai adat istiadat, budaya nusantara, agama, kepercayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya. Ketuhanan Yang Maha Esa di Bumi Nusantara tidak ada putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan (rumah peribadatan, candi-candi), kitab suci dari berbagai agama dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan, peringatan hari besar agama/kepercayaan, pendidikan agama/ kepercayaan, serta peninggalan sejarah yang mengandung nilai-nilai agama/kepercayaan.
Jadi, kalau kita perhatikan hal ini, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa mudah kita terima dan pahami yang memang sudah ada di dalam diri dan jiwa bangsa Indonesia, dari dahulu kala sebelum Pancasila digali oleh Bung Karno.
- Tentu saja, berkaitan dengan suri tauladan penting dilihat terlebih dahulu bagaimana pembangunan karakter (nation and character building) harus terus-menerus dilakukan. Artinya, pembangunan karakter harusnya mulai diajarkan sejak dari rumah, dunia pendidikan, dan keseluruhan pengalaman kehidupan.
Seharusnya sekarang kita kembali untuk membumikan Pancasila dengan tidak bosan-bosannya sampai menjadi habitus dan karakter, yang pada akhirnya manusia Indonesia menjadi dirinya sendiri atau kembali ke jati dirinya, menghayati nilai-nilai Pancasila dan akhirnya bisa dijadikan tauladan.
Ir. Hertoto Basuki
- Dimensi Spiritual Pancasila sebenarnya sudah menjawab pertanyaan dimaksud, dimana spiritualitas Pancasila harus dimaknai sebagai sublimasi seluruh spiritualitas nusantara menjadi satu, termasuk di dalamnya agama, kepercayaan, dan kearifan lokal.
Tentunya, kalau kita bijaksana mudah untuk memahaminya dimana kiita mempunyai proses spiritual di masing-masing sumber spiritual ini. Namun, hal mendasar yang perlu kita ketahui apakah spiritualitas Pancasila sudah tersistem.
Banyak terjadi, orang-orang yang mengerti Pancasila dipimpin oleh yang tidak mengerti Pancasila. Contohnya, kesempatan melakukan korupsi. Perlu diketahui bahwa korupsi adalah penghianatan Pancasila nomor satu, sementara erosi Pancasila itu nomor dua.
- Nilai-nilai Pancasila harus ada contohnya. Pemerintah harus menyediakan ruang kaderisasi Pancasila sehingga lahir dan terbentuk kader-kader bangsa yang Pancasilais. Perlu kita ketahui bahwa intuisi spiritual Bung Karno sudah mengingatkan kita semua bangsa Indonesia akan tersandung-sandung dan menyebutkan tentang musuh terbesar bangsa adalah bangsa sendiri.
Bahkan, dalam pidatonya, beliau pernah mengatakan bahwa suatu ketika saya mungkin diangkat menjadi bapak revolusi, namun suatu ketika saya mungkin akan diganyang anak revolusi. Kenyataannya, itu terjadi betul.
Ketika ditahan di Wisma Yaso, Sukarno memberikan pesan, ?wahai anakku, jangan kau ceritakan penderitaanku ini pada rakyatku. Biarlah ini menjadi sebuah pelajaran bahwa kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat, dan hanya Allah SWT yang menjadi sumber dari segala kekuasaan yang ada?.
Setelah sesi diskusi dan tanya jawab, kedua penulis buku, Dr. Antonius D.R.Manurung, M.Si dan Dr. Bondan kanumoyoso, M.Hum memberikan ungkapan rasa syukur, terima kasih mendalam, dan apresiasi yang tulus kepada semua peserta yang mengikuti Haul Bung Karno dan Bedah Buku Pancasila, khususnya kepada ketiga narasumber pembedah buku.
Selain bedah buku, juga penyampaian ke publik dan peserta perihal publikasi Jurnal Pembumian Pancasila volume perdana (no.1), Juni 2021, dengan tagline ?Mewujudkan Trisakti sebagai Pedoman Amanat Penderitaan Rakyat? dan mengambil tema: ?Revitalisasi dan Rekonstruksi Kelahiran pancasila 1 Juni dalam Menjawab Kompleksitas Permasalahan Bangsa Indonesia?.
Jurnal perdana ini berisikan 7 (tujuh) artikel, dan dalam kesempatan acara ketujuh abstrak artikel dibacakan oleh Dr. Ir. Andri Hernandi, M.S.P., Ketua IV DPP GPP dan Chrisman Damanik, A.Md., S.H., Ketua VII DPP GPP.
Adapun ketujuh judul artikel dan penulis edisi perdana Jurnal Pembumian pancasila adalah:
- DIALEKTIKA PANCASILA DAN KONSEKUENSINYA. Francis Wahono, PhD.
- PEMAHAMAN TERHADAP HAKIKAT PANCASILA DALAM HUBUNGANNYADENGAN PENERIMAAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DANIDEOLOGI NASIONAL DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM DANILMU SOSIAL UNDIKSHA.
- Prof. Dr. Sukadi, M.Pd.,M.Ed. 3. MENEMUKAN KEMBALI SPIRIT KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB:Timbangan Nalar Philosophia Perennis. Dr. Muhammad Sabri, M.Ag.
- AGAMA DAN PANGGILAN MENCINTAI SESAMA SEBAGAI CARA PEMBUMIANPANCASILA. Fransiskus Borgias
- PANCASILA,THE SCIENCE AND ETHIC OF HOLISTIC RELATIONSHIP : ?Yangmenang diangkat menjadi Guru ? Yang kalah siap menjadi Murid?. JusufSutanto
- PANCASILA DAN MODAL SOSIAL : Upaya Revitalisasi Pancasila Sebagai JalanPenguatan Modal Sosial dalam Rangka Penyelesaian Kompleksitas PersoalanBangsa. Dadang Darmawan Pasaribu, M.Si
- PENETAPAN STATUS TERORIS KELOMPOK BERSENJATA DI PAPUA: UpayaMencari Penyelesaian Komprehensif Demi Menjaga Persatuan Indonesia. Valerianus B. Jehanu, S.H., M.H dan Adrianus A. V. Ramon, S.H., LL.M. (Adv.).