EDITOR.ID, Jakarta,- Mahkamah Agung (MA) membenarkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya menghukum Alfian Tanjung 2 tahun penjara. Pria yang berprofesi dosen ini dijatuhi hukuman karena memprovokasi umat dengan ceramah berbau SARA saat dakwah di salah satu masjid di Surabaya.
Divonis 2 tahun oleh PN Surabaya, Alfian tak terima dan mengajukan kasasi. Namun kasasi Alfian ditolak MA. Atas keputusan MA, Alfian tetap harus menjalani hukuman 2 tahun penjara.
“Amar putusan menolak kasasi terdakwa dan jaksa penuntut umum,” seperti dikutip dari situs MA, Jumat (8/6/2018).
Perkara ini diputus oleh Ketua Majelis Hakim Andi Samsan Nganro dengan Anggota Majelis Hakim Eddy Army dan Margono pada 7 Juni 2018.
Perkara dengan nomor 1167 K/PID.SUS/2018, tercantum dalam klasifikasi perkara penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Perkara ini berawal ketika dalam ceramahnya Alfian menyebut bahwa ‘Jokowi adalah PKI’, ‘Cina PKI’, ‘Ahok harus dipenggal kepalanya’, dan ‘Kapolda Metro Jaya diindikasikan PKI’. Ceramah Alfian ini direkam video. Kemudian beredar luas di media sosial
Rekaman itu kemudian dilaporkan warga Surabaya bernama Sujatmiko ke Bareskrim Polri. Alfian dijerat kasus ujaran kebencian saat memberikan ceramah di sebuah masjid di Surabaya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Alfian pada Februari 2017 lalu.
Alfian kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun, majelis hakim tetap menjatuhkan vonis kepada Alfian. Masih tidak terima Alfian mengajukan kasasi ke MA. Namun lagi-lagi ditolak.
Deklarator Tim Pembela JOKOWI (TPJ), Rambun Tjajo, menyambut baik putusan MA. Ia menilai hal itu sebagai bentuk penegakan hukum yang berkeadilan terhadap perbuatan pidana berupa fitnah maupun penyebaran kebencian.
“Putusan ini harus menjadi pelajaran bagi siapapun di Indonesia yang melakukan atau bermaksud melakukan perbuatan fitnah dan penyebaran kebencian dalam bentuk apapun. TPJ memandang bahwa Mahkamah Agung telah menjalankan amanahmya sebagai benteng keadilan, yang dengan tetap istiqomah pada putusan pengadilan pertama,” ujar Rambun, dalam keterangan tertulis, Jumat (8/6/2018).
Perkara ini masuk kategori kasus ‘penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis’, yang mana dinilai Rambun tak sepantasnya terjadi di NKRI, negara yang mendasari kebhinekaan dalam berbangsa.
Selain itu, ia mengatakan fitnah yang dilakukan Alfian kepada Presiden Jokowi sangatlah memprihatinkan, lantaran dilakukan di dalam Mesjid.
“Tentunya, lebih memprihatinkan bahwa ujaran kebencian terhadap Presiden Jokowi ini dilakukan di dalam Mesjid, yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang mubaligh yang mempergunakan sebagai mimbar politik, terlebih dimanfaatkan untuk menyebarkan fitnah dan ujaran kebencian,” ungkapnya.
Dalam kesempatan sama, Dedi Mawardi, Juru bicara TPJ, menegaskan Indonesia tidak boleh membiarkan ujaran kebencian, fitnah, hoax dan bentuk-bentuk lain perkataan dan tindakan yang melawan hukum maupun yang bertentangan dengan adab kebangsaan, di luar nalar kebudayaan bangsa terjadi, terlebih dilakukan kepada seorang Presiden yang dipilih secara konstitusional.
Dedi juga mengimbau kasus Alfian juga harus menjadi bahan refleksi.
Ia juga berharap semoga kasus ini mempunyai efek jera kepada siapapun yang melakukan atau bermaksud melakukan perbuatan jahat yang serupa.
“Sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat, sudah saatnya kita bersama-sama membangun bangsa dan negara ini menjadi bangsa yang besar yang dihormati oleh negara-negara lain,” kata Dedi.
“Di tengah keprihatinan terhadap merebaknya praktek-praktek fitnah dalam penyebaran kebencian berbagai bentuknya, TPJ hadir untuk melakukan aksi-aksi melawan fitnah dan ujaran kebencian, khususnya yang ditujukan kepada pribadi Presiden Jokowi, sebagai inisiatif para Advokat dalam berkontirbusi untuk membangun praktek politik demokrasi yang berkeadaban dan berkemajuan,” katanya. (tim)