Oleh: Moch Eksan
Penulis Pendiri Eksan Institute Jember
DI TENGAH hiruk pikuk rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan, Pilkada Kabupaten Jember 2020, telah memberikan nilai tambah bagi bangunan demokrasi Indonesia. Ternyata, kedewasaan politik calon bupati Jember lebih matang daripada calon presiden AS. Di Kota Tembakau ini, semua calon mengakui tanpa terkecuali hasil keunggulan hitung cepat Pilkada. Bahkan, Vian, Salam dan Ifan sudah mengucapkan selamat kepada Haji Hendy-Gus Firjaun sebagai pemimpin baru Jember.
Berbeda halnya dengan Donald Trump, meski sudah nyata-nyata kalah dan gugatan terhadap hasil pilpres ditolak oleh MA, ia tetap kekeh, merasa dirinya sebagai pemenang pemilu. Sehingga, transisi pemerintahan Trump kepada Joe Biden, terkendala oleh sikap a-demokratis yang mau menang sendiri. Padahal, proses transisi pemerintahan AS mesti dilakukan jelang pelantikan presiden AS ke-48 pada 20 Januari 2021 mendatang.
Demokrasi Jember lebih baik dari demokrasi AS. Sikap para calon bupati dan wakil bupati Jember lebih demokratis daripada calon presiden dan wakil presiden AS. Siap menang, siap kalah bukan sekadar jargon dan pepesan kosong belaka, tapi benar-benar dipedomani oleh calon pemimpin dalam menyikapi hasil Pemilu.
Kesatriaan adalah jiwa yang berkembang bersamaan dengan sikap kenegarawanan, yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendiri.
Nilai demokrasi ternyata tumbuh subur di daerah yang religius. Agama dan demokrasi yang menjadi penyanggah nilai pemilihan langsung rakyat.
Pilkada langsung merupakan momentum partisipasi politik rakyat dalam memilih pemimpin. Tinggi rendahnya angka partisipasi politik bergantung pada “mesin uang”. Kecil besarnya perputaran uang mempengaruhi angka kehadiran pemilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sebab, partisipasi politik di Jember buah dari “mobilisasi”, lain halnya dengan partisipasi politik AS buah dari “sosialisasi”. Artinya, dalam konteks lokal, pemilih datang ke TPS lebih karena keterpaksaan, sementara dalam konteks global lebih karena kesadaran.
Saedi, seorang anggota KPPS di Desa Tisno Gambar Bangsalsari, pada saat mengedarkan Form C-6 atau undangan mencoblos, warga banyak bertanya perihal uang. Ada atau tidak calon yang bagi-bagi uang. Bila ada, ia mau datang. Testimoni mahasiswa akhir UIN KH Achmad Shidiq ini, merupakan fenomena gunung es. Kendati, politik uang terlarang dalam praktek demokrasi, namun dari pemilu ke pemilu, warga yang menganggap wajar semakin membesar. Dan pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan politik uang semakin membesar pula jumlahnya.