EDITOR.ID, Bandung – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Undang – Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada rapat Paripurna pada Senin 5 Oktober 2020. Diketahui terdapat 11 klaster atau sektor yang dicakup dalam Omnibus Law ini, salahsatunya bidang Dukungan riset dan inovasi yang menjangkau pada digitalisasi penyiaran.
Anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan menjelaskan, Omnibus Law akan menjadi instrumen baru untuk digitalisasi penyiaran agar meningkatkan kreatifitas, akses media dan akses internet super cepat.
“Dalam klaster penyiaran ada sebuah terobosan besar, yang disebut ASO (Analog Switch Off), dimana semua lembaga penyiaran televisi terestrial yang menggunakan frekuensi harus migrasi ke teknologi penyiaran digital,” ujar Farhan, Rabu 7 Oktober 2020.
Dengan demikian, Farhan mengaku optimis seluruh lembaga penyiaran televisi teresterial akan menggunakan frekuensi dengan lebih efisien, sehingga akan tersedia digital deviden di frekuensi 700 MHz.
“Keuntungan bagi kita adalah, digital deviden di frekuensi tersebut menambah kapasitas dan kecepatan koneksi internet dengan signifikan yang bisa digunakan di semua sektor. Bayangkan akses internet dengan dua kali lebih cepat 30 persen lebih murah. Jadi dari klaster penyiaran di Omnibuslaw, dalam dua tahun kedepan kita semua akan mendapat benefit yang besar,” katanya.
Farhan menerangkan, lembaga penyiaran saat ini berada dalam manuver kurang efisien dengan menggunakan pita lebar yg tidak efisien.
“Pada saat bersamaan teknologi dan trend pasar pesawat penerima (pesawat tv sampai HP) sudah menggunakan teknologi digital dan hampir tidak ada pabrik elektronik yg masih memproduksi pesawat televisi analog. Jadi hijrah ke digital ini keniscayaan,” terangnya.
Farhan memastikan digitalisasi ini akan disuport setiap unsur di daerah terutama di perkotaan dan menjadi kebutuhan masyarakat.
“Memang benar bahwa ada masyarakat yang belum mampu memiliki pesawat televisi digital. Tetapi dengan subsidi set top box untuk jutaan pemilik pesawat televisi analog, maka pemerataan tayangan akan lebih memungkinkan terjadi,” ungkapnya.
Omnibuslaw RUU Ciptaker dinilai bertujuantujuan memudahkan usaha, investasi dan membuka lapangan pekerjaan. Namun, Farhan memastikan tidak semua bidang dibuka bebas. Di sektor media, kepemilikan asing maksimal hanya 20 persen, untuk ektor pendidikan semua kembali ke norma awal.
“Masalah ketenaga kerjaan, memang melemahkan daya tawar pekerja, tetapi bukan berarti membuat pekerja jadi tidak sejahtera. Bahkan peluang maju bersama jadi besar. Namun bagaimana pun saya mendorong kelompok pekerja dan professional mengambil sikap kritis karena kita tidak mau RUU Ciptaker ini dianggap sebagai monopoli para pemilik modal. Ruang – ruang ekspresi, kebebasan berpendapat dan demokrasi bahkan lebih dibuka,” tambahnya. (Jbr2)