Oleh : Prof.Dr Muhadam Labolo MA
Penulis Adalah Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Jakarta, EDITOR.ID,- Hari ini Kamis 21 Maret 2024 jam 09.00 WIB, Prof Muchlis Hamdi, MPA Phd.D, Guru Besar Kebijakan Publik Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) akan menyampaikan orasi ilmiah dengan tema “Kebijakan Publik untuk Keberlanjutan Pemerintahan Amanah”. Acara Orasi Ilmiah 70 Tahun Prof Muchlis Hamdi, MPA Phd.D, digelar di Aula Zamhir Islami Kampus IPDN, Jalan Ampera Raya Jakarta Selatan
Apakah Muchlis Hamdi, pakar kebijakan publik masih mengajar di Manglayang? Tanya seorang dosen senior di UGM ketika suatu saat saya bertandang. Saya merasa bangga. Jauh-jauh kesana, rupanya ada yang kenal dosen kami. Sama halnya waktu terlibat penelitian singkat di IPB (2003), beberapa dosen bertanya masih adakah Prof. Talizi di IIP?
Setidaknya saya merasa almamater menjadi bagian dari pergaulan akademik. Dihargai dan dihormati pada sisi intelektual yang kini semakin suram. Muchlis Hamdi konsisten dengan bidang ilmunya, kebijakan publik. Ia fokus pada kepadatan teori dan realitas empirik sebagai laboratorium yang terus dicermati.
Dimasa sekolah di IIP, saya menamatkan buku Bunga Rampai Pemerintahan. Mungkin itu magnum opus atas pemaknaan pemerintahan yang Ia pahami. Buku itu memengaruhi pondasi pemikiran pemerintahan sebelum menjejali buku berat Talizi. Edisi Yarsif Watampone itu sejajar dengan Makna Pemerintahan karya Ryaas di tahun 1999.
Muchlis Hamdi guru besar yang sejuk dan ikhlas. Sesuai namanya, seseorang yang ikhlas. Beliau promotor sewaktu menyelesaikan magister. Sulit menjumpai Ia marah di kelas. Bila keterlaluan, suaranya cukup ditinggikan. Menandakan Ia sedang mengirim pesan agar sebaik mungkin mahasiswa disiplin. Ia tak banyak mempersoalkan, tapi lebih sering memaafkan.
Kepada saya Ia selalu mewanti-wanti. Saya berusaha mencermati setiap kalimat. Memahami sedapat mungkin ketebalan kata, sekaligus kedalaman makna. Saya mesti jauh lebih banyak merenung, setiap kali diskusi dengannya tentang isu-isu yang menggelisahkan pikiran beliau sebagai akademisi.
Ia punya standar etika tinggi. Tak mudah kompromi untuk urusan kebenaran. Ketidaksetujuannya terkadang sulit dipahami orang lain. Ia menegaskan tentang semua itu dari sikapnya yang tak bergeming untuk hal yang jelas bertentangan. Entah norma, apalagi etika. Dengan diam salah satunya. Sikap itu mungkin semacam fiktif positif demi menjaga relasi.
Waktu selesai IIP (2001), beliau menawarkan saya bergabung sebagai dosen di almamater. Saya terima, walau ada panggilan yang sama untuk bergabung di STPDN Jatinangor. Saya akhirnya memilih salah satunya setelah istikharah. Tak disangka saya mengajar di keduanya pasca integrasi STPDN ke IIP menjadi IPDN (2004).