Blitar, EDITOR.ID,- Telah lahir sosok pendakwah kesohor. Sosoknya menjadi daya magnet luar biasa. Tak hanya akun media sosial tentang dia yang diserbu, tapi pengajiannya juga dibanjiri ratusan ribu jemaah. Dia adalah Gus Iqdam, sosok kiai muda, tampan, dengan gaya berdakwah membumi dan bisa diterima kalangan ‘arus bawah.’
Usianya baru 29 tahun, tapi daya pancar dan kharisma kiai muda bernama lengkap KH Muhammad Iqdam Kholid ini sebagai kiai sudah sejajar dengan para kiai ‘senior’.
Meski begitu Gus Iqdam selalu menjaga keadaban. Setiap ia bersilaturahmi dengan seniornya seperti Gus Kautsar, Gus Miftah, dan para kiai senior, Gus Iqdam selalu menjaga keadaban dan penghormatan luar biasa kepada para guru masyaikhnya itu.
Gus Iqdam mendirikan Majelis yang dinamai Majelis Sabilu Taubah pada Desember 2018. Makna nama Sabilu Taubah memiliki arti “Jalan Menuju Kebaikan atau Taubat” nama ini seirama dengan karakter jemaahnya yang ‘baru’ belajar akhlak dan memahami aqidah Islam. Majelisnya hingga kini terus berkembang dan telah memiliki ribuan jamaah.
Majelis Sabillul Taubah awalnya hanya memiliki 7 jemaah anak jalanan. Kini setiap pengajian diikuti puluhan ribu orang. Uniknya, dari ratusan ribu jemaah pecinta Gus Iqdam, mereka justru datang dari kaum marjinal, mulai dari anak-anak punk, pengamen jalanan, masyarakat yang jarang ‘terjamah’ dengan pemahanan agama.
Namun jemaah Gus Iqdam kini berkembang bukan hanya kalangan marjinal. Jemaah Gus Iqdam kini meluas dari kalangan artis, kepala daerah, anggota DPR hingga jenderal.
Berwajah tampan dengan materi dakwah selalu fresh dan menghibur membuat suasana pengajian sangat menyenangkan dan tidak membosankan.
Gaya dakwah Gus Iqdam yang menggunakan bahasa lokal Jawa, ceplas-ceplos justru menjadi kelebihannya. Gaya menyegarkan dan jujur apa adanya membuat ia banyak disukai jemaahnya. Banyak istilah gaul atau tagline lahir dari ungkapan Gus Iqdam. Mulai dari istilah “Dekenange Pusat’, ‘ST Nyell’, garangan hingga Wonge Teko.
Pengajian rutin Majelis Sabilu Taubah dilaksanakan setiap hari Senin dan Kamis malam tak pernah sepi dari jamaah yang ‘nderek ngaos’.
Uniknya dalam setiap pengajiannya, Gus Iqdam tak pernah menggunakan gaya seperti ustad pada umumnya “Satu Arah”. Namun dalam pengajiannya, Gus Iqdam justru ingin belajar memahami kehidupan dari kisah dan perjalanan hidup para jemaahnya yang berasal dari berbagai latar belakang.
Oleh karena itu dalam setiap pengajiannya Gus Iqdam selalu berdialog dengan bahasa merakyat, cair, sederhana sehingga mudah dipahami. Ia selalu menanyakan darimana jemaahnya itu datang. Ada yang datang dari Blitar sekitarnya. Namun ada juga yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, NTB hingga Lampung.