Jakarta, EDITOR.ID,- Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Basarnas saat ini menjadi polemik. Pasalnya TNI tiba-tiba mengambil alih kasus ini dari KPK. Dan KPK tak berdaya menyikapi penangkapan tersangka kasus korupsi berlatar belakang TNI tersebut.
Dalam OTT, KPK meringkus Letkol Afri Budi Cahyanto dan menetapkan Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka atas dugaan korupsi pengadaan barang.
Namun ironisnya, KPK ‘mengamini’ sikap TNI dan mendadak meralat status tersangka terhadap Letkol Afri dan Marsdya Henri Alfiandi meski telah memenuhi alat bukti dan penyitaan uang transaksi suap yang diduga setoran vendor pengadaan barang dan jasa.
Bahkan 3 pimpinan perusahaan swasta pemberi suap juga sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun KPK belakangan minta maaf dan meralat status tersangka Letkol Afri dan Marsdya Henri usai didatangi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Marsekal Muda Agung Handoko dan petinggi TNI.
Kasus ini banyak menuai rasa keprihatinan dari publik dalam hal “pengistimewaan” tersangka yang berlatar belakang militer. Karena pihak TNI merasa KPK tak berhak menetapkan status tersangka terhadap anggota TNI aktif dalam kasus korupsi ini. Meskipun alat bukti sudah memenuhi syarat dan para pelaku korupsi itu tertangkap tangan.
Salah satu sorotan diungkapkan Letnan Jenderal Purnawirawan Suryo Prabowo. Menurut Suryo Prabowo, seharusnya Marsekal Madya Henri Alfiandi malu karena ketahuan korupsi, bukan justru berlindung di balik seragam.
Padahal, jabatan yang diemban oleh Henri Alfiandi ialah jabatan sipil di Basarnas.
Sindiran ini disampaikan Suryo Prabowo melalui unggahan di media sosialnya pada Minggu (30/7/2023).
Lebih lanjut purnawirawan jenderal bintang tiga yang pernah bertugas di Timor Timur itu menceritakan pengalamannya saat mengemban jabatan sipil. Letjen Purn Suryo Prabowo mengaku pernah diberi amanah sebagai Wakil Gubernur Timor Timur (Timtim) yang merupakan jabatan sipil dan dia tunduk dengan aturan sipil.
Suryo Prabowo mengatakan bahwa saat itu di tahun 1998 ketika berpangkat kolonel di usia 44 tahun, ia diperintah atasan untuk menjabat sebagai Wakil Gubernur Timor Timur (Timtim) atas usulan DPRD Provinsi Timtim.
Di masa itu penugasan militer sebagai kepala/wakil kepala daerah tidak melalui pilkada melainkan cukup rekomendasi dari DPRD.
Semula Suryo Prabowo menolak, karena merasa tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk menduduki jabatan Wakil Gubernur.
Namun karena banyak “desakan” dari rekan, senior dan atasan, ia menerima jabatan Wagub tersebut.