EDITOR.ID. Indramayu – Sedikitnya 50 ribu ton garam milik petambak di Jawa Barat (Jabar) tak laku dijual. Stok sebanyak itu merupakan produksi tahun 2019. Belum terserapnya garam petambak di Jabar karena buruknya kualitas sehingga kalah saing di pasaran.
Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Asosiasi Petani Garam (Apgasi) Jawa Barat, M Taufik, kepada editor.id, Rabu (14/10). Ia menjelaskan produksi garam di Jabar pada tahun 2019 lalu mencapai 300 ribu ton. Angka itu dinilai melimpah karena terpengaruh musim kemarau yang panjang. “Namun yang terserap di pasar hanya 250 ribu ton. Sisanya masih menumpuk,” ungkap dia.
Taufik mengakui, tingginya produksi garam itu tak diimbangi dengan kualitasnya. Menurutnya, kualitas garam petambak memang kurang sehingga kalah bersaing. Apalagi, tata niaga garam dikuasai oleh para bakul yang ingin mencari keuntungan.
Selain tak terserap, lanjut Taufik, harga garam petambak juga rendah. Bahkan, harganya di kisaran Rp 250 per kg. Tak terserapnya garam maupun rendahnya harga garam, lanjut Taufik, akhirnya membuat minat petambak untuk memproduksi garam pada tahun ini jadi menurun.
Dia menyebutkan, dari luas lahan tambak garam sekitar 5.500 hektare di Cirebon dan Indramayu, yang digarap pada tahun ini hanya sekitar 40 persennya. ”Karenanya, produksi garam pada tahun ini hanya sekitar 20 ribu ton. Yang ini sudah terserap,” kata Taufik.
Taufik menambahkan, produksi garam di Jabar sekarang ini sebagian sudah mulai berhenti. Pasalnya, hujan sudah mulai turun.
Kondisi itu seperti yang terlihat di daerah Losari – Mundu, Kabupaten Cirebon. Sedangkan untuk Mundu – Bungko, sekitar sepuluh persen yang masih berjalan. Untuk wilayah Losarang, Kabupaten Indramayu, juga masih berjalan.
Hal itu dibenarkan salah seorang petambak garam di Kecamatan Losarang, Robedi. Dia mengatakan, produksi garam di wilayahnya hingga kini masih berjalan.
”Tapi tidak maksimal karena hujan sudah mulai turun,” terang Robedi.
Robedi mencontohkan, untuk lahan garamnya seluas 30 hektare, hanya mampu menghasilkan 70 ton untuk empat hari produksi. Sedangkan tahun lalu, selama empat hari itu bisa menghasilkan 100 ton.
‘’Minggu kemarin produksi itu sudah terlihat bagus. Tapi saat hendak dipanen, hujan turun sehingga akhirnya gagal,’’ tutur Robedi.
Selain faktor cuaca yang menyebabkan produksi garam tahun ini berkurang, lanjut Robedi, minat petambak garam di wilayahnya pada tahun ini juga menurun. Dia menyebutkan, luas lahan garam di wilayah Kecamatan Losarang ada sekitar 2.500 hektare. Namun tahun ini, lahan yang diolah menjadi tambak garam hanya 50 persennya.