Foto :Presiden Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr Yetti Suciaty, SH MBA bersama Ketua DPR Bambang Soesatyo (koleksi pribadi)
EDITOR.ID, Jakarta,- Presiden Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr Yetti Suciaty, SH MBA mendukung permintaan Presiden Joko Widodo kepada DPR RI agar menunda dulu pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Alasan Yetti, karena masih banyak materi pasal di dalam RUU KUHP yang menimbulkan pro kontra dan kontroversial karena tidak mencerminkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Saya sependapat dengan Bapak Presiden bahwa pengesahan RUU KUHP ini ditunda dulu, dikaji dulu dan dilahirkan dengan semangat keadilan yang menyeluruh bukan untuk kepentingan politik kelompok masyarakat tertentu,” ujar Yetti dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (23/9/2019)
Dr Yetti mengingatkan kepada penyusun RUU KUHP dan DPR bahwa masyarakat Indonesia ini heterogen dan saling menghormati, bertoleransi dan mengembangkan keberagaman.
“Sehingga jika dalam penyusunan Undang-Undang yang nantinya bersifat mengatur dan memaksa hak hidup rakyat Indonesia, tetapi negara hanya berpedoman dan menggunakan referensi dari satu sumber hukum agama, maka keadilan hakiki itu sulit didapatkan,” katanya.
Presiden ADHI meminta Presiden Joko Widodo membuka ruang pembahasan yang lebih luas dalam forum kajian, dengar pendapat, sosialisasi untuk mendapatkan masukan dari berbagai kalangan masyarakat.
“Jangan sampai RUU KUHP hanya diketahui dan dibahas segelintir elit politik di DPR, nanti konteksnya akan lebih pada kepentingan politik, menurut pendapat dan saran saya sebaiknya Negara melibatkan semua stakeholder yang mewakili kepentingan publik secara independen dan idealis,” katanya.
Yetti meminta pasal-pasal kontroversial yang ditolak publik sebaiknya dibahas dan diperdebatkan melalui ruang akademis dengan melibatkan pakar hukum dari berbagai kalangan secara utuh untuk memberikan sumbangan pemikirannya.
“Perlu dibuat semacam Simposium yang menghasilkan karya pemikiran yang lebih luas dan utuh yang melibatkan pakar hukum yang tidak terkontaminasi kepentingan tertentu,” kata pengurus HIPMI ini.
Sehingga bisa lahir pasal dan aturan yang bisa diterima oleh semua publik karena dalam penyusunannya menggunakan akal sehat dan dengan hati atau kalbu.
Bukan dengan pola pemaksaan dan mengejar sesuatu yang belum tentu pandangannya tersebut adalah kebenaran.
“Kebenaran itu sifatnya subyektif, dari sudut dan siapa yang memandang, menurut A itu baik belum tentu menurut B baik, maka kita membuat jalan tengah bagaimana aturan dalam RUU KUHP bisa mengakomodasi semua,” tuturnya.