EDITOR.ID, Jakarta,- Penangkapan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Itong Isnaeni Hidayat membuka mata publik betapa mirisnya sebuah keadilan diperjualbelikan. Kasus suap hakim di PN Surabaya hanyalah puncak gunung es dari sebuah gambaran besar komersialisasi hukum di negeri ini.
Konon kabarnya antara pengacara Hendro Kasiono dengan hakim Itong yang komunikasi mereka dijembatani paniteranya untuk membuat kesepakatan “membeli” putusan sesuai order si pengacara yakni kliennya bisa dipailitkan agar aset perusahaan bisa cair. Upeti yang harus dibayar agar urusan beres sebesar Rp 1,3 miliar. Kesepakatan ini menjadi salah satu contoh potret keadilan di negeri ini.
Fenomena ini terungkap saat KPK membeberkan konstruksi perkara yang menjerat hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Itong Isnaeni Hidayat (IIH) beserta dua orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap.
Dua tersangka lainnya yang terjerat OTT KPK itu ialah Panitera Pengganti PN Surabaya Hamdan (HD) dan pengacara atau kuasa hukum PT Soyu Giri Primedika (SGP) Hendro Kasiono (HK).
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut tersangka Itong Isnaeni Hidayat (IIH) merupakan hakim tunggal pada PN Surabaya yang menyidangkan salah satu perkara permohonan terkait pembubaran PT Soyu Giri Primedika (SGP).
“Yang menjadi pengacara dan mewakili PT SGP adalah tersangka Hendro Kasiono (HK),” kata Nawawi Pomolango saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat dini hari (21/1/2022).
KPK menduga dari persidangan itu ada kesepakatan “jual beli” perkara antara Hendro Kasiono dengan pihak perwakilan PT SGP untuk menyiapkan sejumlah upeti atau uang yang wajib dimaharkan kepada hakim yang menangani perkara tersebut.
Uang yang disiapkan untuk mengurus perkara itu diduga mencapai kisaran Rp 1,3 miliar, dari tingkat putusan PN sampai tingkat putusan Mahkamah Agung (MA).
“Sebagai langkah awal realisasi dari uang Rp 1,3 miliar itu, tersangka Hendro Kasiono menemui tersangka Hamdan (HD) dan meminta agar hakim yang menangani perkaranya bisa memutus sesuai dengan keinginan Hendro Kasiono,” tutur Nawawi.
Dia menjelaskan bahwa pihak Hendro Kasiono menginginkan hakim PN Surabaya memutus agar PT SGP dinyatakan dibubarkan dengan nilai aset yang bisa dibagi sejumlah Rp 50 miliar.
Untuk memastikan proses persidangan perkaranya berjalan sesuai harapan, Hendro Kasiono diduga berulang kali berkomunikasi dengan Hamdan.
Komunikasi di antaranya dilakukan melalui sambungan telepon dengan menggunakan istilah upeti untuk menyamarkan maksud dari pemberian uang. Nawawi pun mengatakan setiap hasil komunikasi antara Hendro Kasiono dan Hamdan diduga selalu dilaporkan oleh Hamdan kepada Itong.
“Itong menyatakan bersedia dengan adanya imbalan sejumlah uang,” ujar Nawawi.
Selanjutnya, sekitar Januari 2022, Itong menginformasikan dan memastikan permohonan Hendro dapat dikabulkan.
Tersangka pun meminta Hamdan untuk menyampaikan hal itu kepada Hendro Kasiono. Nawawi menyebut Hendro Kasiono diminta untuk merealisasikan sejumlah uang yang sudah dijanjikan sebelumnya. Permintaan itu pun segera disampaikan Hamdan kepada Hendro Kasiono pada tanggal 19 Januari 2022.
Pada hari itu pula, uang senilai Rp 140 juta yang diperuntukkan bagi Itong Isnaeni diserahkan oleh Hendro Kasiono kepada Hamdan. “KPK menduga Itong juga menerima pemberian lain dari pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Negeri Surabaya, dan hal ini akan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik,” tutur Nawawi.
Dengan konstruksi kasus itu, penyidik KPK menetapkan Itong Isnaeni Hidayat (IIH) dan Hamdan (HD) sebagai tersangka penerima suap, sedangkan Hendro Kasiono selaku tersangka pemberi suap.
Atas perbuatannya, Hendro Kasiono sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Kemudian, Hamdan dan Itong Isnaeni Hidayat sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (antara)