“Secara aklamasi, mereka semua mengatakan bahwa saya melakukan pengembalian KSOTK 2016 itu adalah kesalahan fatal dan menabrak semua aturan, termasuk UU Pemilu. Yang itu bisa berujung pidana,” papar Muqit dengan nada kalem.
Muqit mengaku, pertemuan selama 2 jam itu dirinya amat tertekan. Terlebih, bupati Jember, dr Faida menuding, langkah pengembalian jabatan yang dilakukan oleh Muqit itu menyebabkan Faida kalah dalam Pilkada Jember pada 9 Desember 2020 lalu.
Selama beberapa saat, Muqit memilih menyimpan tekanan tersebut. Peristiwa itu hanya diketahui beberapa kalangan saja. Namun cerita Muqit ditekan oleh Faida dan pejabat korps Adhyaksa itu kemudian tersebar dan viral melalui WhatsApp dan media sosial.
Puncaknya, pada Kamis (17/12) kemarin, ratusan orang yang merasa sebagai santri, guru ngaji dan simpatisan Muqit melakukan aksi. Mereka mendatangi kantor Pemkab Jember dan Kejari Jember. Massa ingin mencari pejabat pemkab dan kejaksaan yang disebut telah menekan Muqit dan dianggap berlaku tidak sopan.
Sebelum terpilih menjadi Wabup pada 2015, Muqit dikenal sebagai salah satu ulama kharismatik dan pemimpin sebuah pondok pesantren di Jember. Ia belum pernah terlibat dalam politik praktis sebelumnya.
Muqit yang selama ini tidak banyak dilibatkan dalam masalah pemerintahan oleh bupati Faida, kemudian harus dihadapkan pada persoalan penting ketika ditunjuk menjadi Plt Bupati.
Yakni diperintahkan oleh Kemendagri dan Pemprov Jatim untuk menjalankan rekomendasi pengembalian jabatan atas ratusan ASN yang dimutasi Faida.
Rekomendasi itu kemudian dijalankan oleh Muqit selama ia menggantikan Faida yang cuti kampanye selama 72 hari.
Rekomendasi pengembalian jabatan itu, sebagaimana dilansir MerdekaCom, sebenarnya sudah dikeluarkan Mendagri sejak tahun 2019, namun tidak pernah dijalankan oleh bupati Faida. Rekomendasi dikeluarkan Mendagri karena menilai, mutasi yang dilakukan bupati Faida selama ini adalah ilegal. (Tim)