EDITOR.ID, Jakarta,- Usulan Joko Widodo bisa 3 periode maju sebagai Capres menuai kontroversi. Wacana ini muncul konon diinisiasi Muhamad Qodari. Pengamat politik yang juga pemilik lembaga survey Indo Barometer ini disebut-sebut sebagai insiator pendukung Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo Subianto sebagai pasangan Capres-cawapres Pilpres 2024 mendatang.
Akibatnya tagar #tangkapqodari menjadi trending di media sosial sejak wacana tersebut digulirkan oleh Sekretariat Nasional Jokowi-Prabowo (Jokpro 2024) yang menggulirkan usulan Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo Subianto sebagai pasangan Capres-cawapres Pilpres 2024 mendatang.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Jokpro 2024 Baron Danardono mempertanyakan ramainya tagar tersebut. Dia mengklaim dukungan kepada Jokowi dan Prabowo tidak melanggar aturan apapun.
Menurut Baron, penduetan Jokowi dan Prabowo hanya dapat terwujud di 2024, jika amandemen UUD RI 1945 terjadi. Sebaliknya, hal tersebut tidak mungkin bisa diwujudkan jika batas periode presiden adalah dua kali, seperti tercantum dalam UUD 1945 saat ini.
?Kami selalu mengatakan Jokowi-Prabowo 2024 itu hanya bisa terwujud apabila terjadi Amandemen UUD RI 1945 (konstitusi). Jadi dahulukan amandemen UUD RI 1945, baru Jokowi-Prabowo bisa terwujud di 2024,” ujar Baron dalam keterangan tertulis, Minggu (20/6/2021).
Dia juga menyebut wacana menjadikan Jokowi dan Prabowo sebagai kandidat pasangan pada pilpres 2024 merupakan bagian dari hak menyampaikan pendapat.
“Begini ya, ini kan hak konstitusi saya, Mas Qodari, Mas Baron dan teman-teman Jokpro lainnya untuk menyampaikan pendapat, aspirasi dan gagasannya, sama seperti relawan capres yg lain, loh kok bisa kami ini dilarang,” katanya.
Ia juga menyebut, isu yang disampaikan juga tidak merugikan pihak manapun. Karena itu, dia mengaku heran dengan pihak yang menilai mereka telah melanggar aturan.
“Yang jelas begini, Jokpro 2024 tidak ingin mengganggu, mengganti, bahkan menurunkan pejabat yang sedang memerintah (dalam hal ini Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin), lalu mau dilarang dengan aturan hukum yang mana?” tanyanya.
?Silakan ditanyakan ke mereka, aturan hukum yang mana yang kami langgar? Kami Jokpro 2024 tidak bertentangan dengan satupun aturan hukum di Indonesia. Sah dan konstitusional ini,? pungkasnya.
Sementara itu dari hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan tidak setuju jika Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali mencalonkan diri pada Pilpres 2024 mendatang.
“Sekitar 52,9 persen menyatakan tidak setuju, sementara yang setuju 40,2 persen,” kata Peneliti sekaligus Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando dalam peluncuran hasil survei nasional SMRC bertajuk “Sikap Publik Nasional terhadap Amendemen Presidensialisme dan DPD”, yang dilakukan secara daring, di Jakarta, Minggu (20/6/2021).
Survei SMRC juga memperlihatkan bagaimana mayoritas warga atau mencapai 74 persen menghendaki agar ketetapan tentang masa jabatan presiden dua kali dipertahankan.
“Yang ingin masa jabatan presiden diubah hanya 13 persen, dan yang tidak punya sikap 13 persen,” ujar Ade.
Menurut Ade, temuan ini menunjukkan bahwa narasi yang diusung kelompok-kelompok tertentu agar Presiden Jokowi bisa kembali bertarung dalam Pilpres 2024 dengan mengubah ketetapan UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden tidak didukung oleh mayoritas warga Indonesia.
“Memang dukungan terhadap gagasan untuk mencalonkan Jokowi kembali sebagai presiden nampak cukup tinggi, yakni sekitar 40 persen,” kata Ade.
Apalagi, tambah Ade, 74 persen warga menyatakan tidak perlu ada perubahan dalam pembatasan masa jabatan presiden.
Dia melihat ada efek Jokowi terhadap sikap publik tersebut.
“Pada tingkat dasar, 74 persen publik ingin presiden dua periode saja. Tetapi, ketika disodorkan nama Jokowi untuk kembali maju pada Pilpres 2024, banyak yang goyah. Awalnya 74 persen yang menolak dua periode, menjadi 59,2 persen,” jelas Ade sebagaimana dilansir dari Antara.
Dia menyebutkan mayoritas warga berpendidikan tinggi menolak gagasan pencalonan kembali Jokowi dalam Pilpres 2024. “Sekitar 75 persen warga berpendidikan tinggi Perguruan Tinggi menolak pencalonan tersebut, dan hanya 20 persen yang mendukung,” ujarnya.
Menurut Ade, terdapat perbedaan pandangan antar kelompok latar belakang pendidikan, penghasilan dan agama berbeda dalam hal dukungan dan penolakan terhadap gagasan tersebut.
Dilihat dari latar belakang pendidikan, terdapat 75 persen warga dengan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi yang menolak pencalonan kembali Jokowi sebagai capres 2024, sementara hanya 45 persen warga berpendidikan SD yang juga menolak gagasan tersebut.
Dilihat dari tingkat penghasilan, terdapat 62 persen warga dengan penghasilan di atas Rp 2 juta/bulan yang menolak gagasan pencalonan kembali Jokowi.
Sementara hanya 43 persen warga berpenghasilan di bawah Rp 1 juta/bulan yang juga menolak gagasan tersebut.
Survei nasional SMRC tersebut dilakukan pada 21-28 Mei 2021. Penelitian melalui wawancara tatap muka ini melibatkan 1072 responden yang dipilih melalui metode penarikan sampel random bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error penelitian ? 3,05 persen. (yom)