Jakarta, EDITOR.ID – Terkait daftar pencarian orang (DPO), lembaga antirasuah — berdasarkan catatan mengklaim dari 21 orang yang telah dinyatakan buron — kini tinggal tersisa tiga orang yakni Kirana Kotama, Harun Masiku, dan Paulus Tannos.
Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) pihaknya membenarkan tinggal 3 buronan DPO tersangka.
Kirana Kotama terakhir terdeteksi berada di Amerika Serikat (AS), Harun Masiku diduga masih berada di Indonesia berdasarkan data perlintasan yang bersangkutan yang ditemukan oleh Polri.
Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mendeteksi keberadaannya Kirana Kotama di AS, namun KPK belum mengetahui posisi secara detail titik keberadaan yang bersangkutan di AS.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan mengenai keberadaan DPO Kirana Kotama di AS belum berhasil menemukan posisinya — hal tersebut menurutnya menjadi hambatan tim penyidik.
Asep Guntur mengakui tim penyidik KPK mengalami kesulitan menangkap Kirana Kotama karena adanya hambatan
tim penyidik — diduga Kirana Kotama dilindungi di negara AS tersebut.
“Bukan dilindungi. Jadi pertama, karena keberadaanya kita belum bisa mendeteksi pastinya ada di mana,” jelas, Selasa (15/8/2023)
Paulus Tannos mengubah namanya dan Kewarganegaraannya
Buronan tersangka terkait kasus korupsi mega proyek e-KTP, Paulus Tannos terhitung setelah 4 tahun ditetapkan dirinya status DPO — diketahui telah berganti identitas kewarganegaraan sebagai warga negara negara di Benua Afrika bagian Selatan.
Hal tersebut diketahui setelah KPK berhasil menangkap Paulus Tannos ketika sedang berlibur — Paulus Tannos telah mengubah namanya menjadi Tahian Po Tjhin (TPT).
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri membenarkan tentang hal tersebut ketika dikonfirmasi, “Iya betul. Informasi yang kami peroleh demikian Paulus Tannos mengubah kewarganegaraan,” ujarnya di hadapan para awak media, Selasa (8/8).
Ali menambahkan, “Paulus selain mengganti namanya, dia juga telah mengantongi paspor dari negara lain (Afrika Selatan),” tambahnya.
Dengan mengubah kewarganegaraan dan namanya membuat KPK tidak bisa membawanya untuk kembali pulang ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya — meskipun pihak KPK saat itu telah berhasil menangkapnya ketika sedang berlibur di Thailand.
Ali Fikri memberikan alasannya. Ketika KPK hendak menangkap Paulus Tannos dan menunjukkan identitas Paulus Tannos ke pihak otoritas di Thailand, ternyata red notice identitas atas nama Paulus Tannos dengan namanya yang baru belum diterbitkan — sehingga satgas KPK terbentur masalah yurisdiksi negara setempat (Thailand).
Saat Ali Fikri ditanya hal lainnya — Ali Fikri benggan menjelaskan lebih rinci menjawab pertanyaan wartawan mengenai negara-negara mana saja selain Afrika Selatan yang menerbitkan paspor untuk DPO tersangka Paulus Tannos?
“Paulus punya paspor negara lain sehingga pada saat kami menemukan dan menangkapnya tidak bisa memulangkan yang bersangkutan ke Indonesia,” ungkap Ali Fikri.
Satgas KPK menangkap Kirana Kotama yang terdeteksi dapat izin tinggal di AS, KPK gandeng FBI
Selain Harun Masiku dan Paulus Tannos — Kirana Kotama DPO tersangka korupsi mega proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara hingga triliunan.
Nama Kirana Kotama masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK sejak 15 Juni 2017.
Kirana Kotama salah satu buronanKPK diduga berada di Amerika Serikat (AS) dan memiliki izin tinggal tetap di sana alias permanent resident.
Terdeteksinya keberadaan Kirana Kotama — KPK mengklaim sudah menggandeng Federal Bureau of Investigation (FBI), dan hingga saat ini masih terus memburunya — KPK menunggu waktu yang tepat menciduknya di tempat kediamannya.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, “Dengan mengantongi permanent resident Kirana Kotama dia bisa tinggal di negara tersebut. Hal ini dinilai sebagai salah satu faktor yang menyulitkan KPK,” ungkap Asep.
Selanjutnya, Asep memperjelas permasalahan hukum di negara tersebut — menurutnya belum tentu negara yang bersangkutan memandang perbuatan DPO tersangka Kirana Kotama merupakan pelanggaran pidana.
“Hukum kita kan berbeda dengan hukum di sana,” jelas Asep.
Meski KPK telah mengantongi permanent resident, kata Asep, Kirana Kotama belum mendapatkan status kewarganegaraan dari negara lain seperti halnya DPO Paulus Tannos.
Lebih lanjut, Asep menyebut pihaknya telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) maupun pihak yang memiliki otoritas di negara terkait untuk membantu mencari Kirana Kotama.
“Sudah berkoordinasi,” tuturnya.
Kirana Kotama merupakan tersangka kasus dugaan pemberian hadiah atau janji terkait dengan pengadaan pada PT PAL (Persero).
Asep memastikan bahwa Kirana Kotama belum mengganti atau memiliki kewarganegaraan lain, seperti halnya DPO lain yaitu Paulus Tannos.
.”Kita menggandeng seluruhnya, termasuk stakeholder termasuk kemarin pas kunjungan [Irjen Pol] Krishna Murti Kadiv Hubinter, ada kerja sama police to police antara Indonesia dan Amerika di sana. Itu kita gunakan juga kesempatan itu,” terang Asep.
KPK mengaku hingga saat ini koordinasi dengan FBI berjalan dengan baik.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pemerintah AS kooperatif dalam upaya penangkapan DPO tersangka Kirana Kotama.
Alexander Marwata menyebut koordinasi KPK dan FBI pernah dilakukan ketika penanganan perkara saksi kasus korupsi e-KTP Johannes Marliem, yang saat itu berada di AS.
“Pemerintah Amerika sih kooperatif,” kata Alex, saat ditemui di Gedung KPK usai konferensi pers Selasa (15/8/2023).
Alexander Marwata menyebut Kirana Kotama mendapat permanent resident dari pemerintah AS.
Namun Alexander Marwata tidak mengetahui alasan Kirana Kotama bisa mendapatkan permanent resident dari pemerintah AS padahal Kirana Kotama berstatus DPO tersangka korupsi di pemerintahan Indonesia.
“Loh jangan tanya saya — permanent resident kan yang ngasih kan pemerintah Amerika. Mungkin dia udah lama kali tinggal di sana, kita enggak tahu,” jelas Alexander Marwata.
Modus Kirana Kotama melakukan korupsi
Adapun Kirana ditetapkan sebagai tersangka pada 2017, atau sekitar 6 tahun lalu. Ia merupakan Direktur Utama PT Pirusa Sejati.
Kirana diduga menyuap General Manager Treasury PT PAL Arif Cahyana dan Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar.
Suap diberikan dalam pembelian kapal perang untuk Pemerintah Filipina. Dalam jual beli ini, Kirana Kotama berperan sebagai perantara.
Kasus PT PAL ditindak melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis (30/3/2023).
KPK menciduk Arif setelah menerima suap dalam pecahan dollar Amerika Serikat (AS) dari Agus di MTH Square, Cawang, Jakarta Timur.
Setelah menangkap terduga pelaku lain, melakukan pemeriksaan, dan galar gelar perkara KPK menetapkan empat orang tersangka.
Mereka adalah Direktur Utama PT PAL M. Firmansyah Arifin, Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar, dan GM Treasury PT PAL Arief Cahyana, dan pejabat PT Pirusa Sejati Agus Nugroho.
Dalam persidangan, Kirana disebut memberi uang 188.101,19 dollar AS kepada jajaran Direksi PT PAL, Firmansyah dan kawan-kawan.
Firmansyah dan pejabat PAL lainnya disebut mendapat komitmen fee 1,2 persen atau 1,087 juta dollar AS dari Ashanti Sales Inc.
Uang itu bersumber dari fee yang diberikan pemerintah Filipina sebesar 4,76 persen dalam kontrak pembelian kapal senilai 86,96 juta dollar AS
KPK memburu Paulus Tannos
Pada awal tahun, 27 Januari 2023, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengungkapkan, bahwa pihaknya bisa menangkap Paulus Tannos di Thailand jika saja red notice dari Interpol tidak terlambat terbit.
Ali mengatakan bahwa red notice itu terlambat karena Paulus Tannos sudah lebih dahulu berganti nama.
Hal tersebut membuat KPK harus mencari tersangka korupsi itu dengan identitas barunya.
Paulus Tannos merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra sebuah perusahaan yang terlibat dalam pengadaan proyek e-KTP hingga merugikan negara triliunan rupiah.
Kementerian Luar Negeri ( Kemlu ) mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya mencabut status warga Afrika Selatan yang kini dipegang buronan kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP Paulus Tannos .
Diketahui, KPK berkoordinasi dengan Kemlu terkait masalah kewarganegaraan ganda Paulus Tannos.
“Ini adalah masalah penegakan hukum dan tugas Kemlu adalah memberikan dukungan untuk upaya penegakan hukum,” ujar Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah, Sabtu (12/8/2023).
Diberitakan sebelumnya, Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, Paulus Tannos sudah berhasil ditangkap di luar negeri. Tapi, Paulus Tannos tidak bisa dibawa ke Indonesia karena identitasnya sudah berubah.
Sebagai Buronan KPK, Paulus Tannos sebenarnya sudah tertangkap, namun yang bersangkutan tak bisa dibawa ke Indonesia.
“Nyatanya tim penyidik tidak bisa membawa yang bersangkutan sekalipun sudah di tangan, karena memang namanya berbeda, kewarganegaraannya pun sudah berbeda.
Tentu otoritas negara yang kami datangi dan ketika melakukan penangkapan itu tidak membolehkan untuk membawanya,” kata Ali Fikri Jumat (11/8/2023).
Ali Fikri memaklumi larangan negara lain di Afrika tersebut tidak mengizinkan petugas membawa buronan Paulus Tannos untuk kembali ke Indonesia.
Hal itu beralasan Sebab memang, identitas Paulus Tannos telah berubah. Sehingga, ada aturan yang tidak memperbolehkan petugas dari negara lain membawa orang yang identitasnya berbeda.
Sekadar informasi, Dirut PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos merupakan salah satu tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Paulus Tannos sudah terlacak keberadaannya namun belum bisa dipulangkan ke Indonesia
Setelah Paulus Tannos mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara di sebuah negara di Afrika Selatan.
Menjadi buronan KPK Paulus Tannos
sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Agustus 2019 lalu, berarti selama 4 tahun KPK melacak keberadaan dan menemukan yang bersangkutan sedang plesiran di luar negeri.
Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, baru-baru ini timnya menemukan keberadaan Paulus Tannos di luar negeri. Namun, Ali tidak merinci di negara mana mana Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra itu terdeteksi.
“Paulus Tannos sebagaimana yang sudah kami sampaikan, KPK sudah menemukannya di luar negeri, kami tidak perlu menyebutkan negaranya, dan kemudian ternyata yang bersangkutan sudah berganti identitasnya dan paspor negara lain di wilayah Afrika Selatan,” kata Ali Fikri melalui keterangan resminya, Jumat 11 Agustus 2023.
KPK melacak keberadaan Paulus Tannos
Paulus Tannos merupakan Direktur PT Sandipala Arthaputra yang masuk dalam konsorsium pemenang proyek e-KTP bersama Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). KPK menetapkan Tannos menjadi tersangka korupsi proyek e-KTP pada Agustus 2019.
Akan tetapi dia bersama keluarganya telah pergi ke Singapura pada tahun 2017. Tannos masih berstatus sebagai buronan KPK hingga saat ini.
Pada awal tahun 2023 di Bulan Januari, Deputi Penindakan KPK Karyoto mengendus keberadaan buronan Paulus Tannos terlacak sedang berada di Thailand.
Karyoto sudah merasa yakin Paulus Tannos akan dibawa kembali ke Indonesia, namun penangkapan Paulus Tannos terkendala red notice yang belum diterbitkan.
“Paulus Tannos itu nasibnya sudah bisa diketahui, tapi memang ada kendala, yang bersangkutan red notice-nya penerbitannya terlambat,” beber Karyoto ketika itu, abu (25/1/2023).
Karyoto menambahkan, “Kalau pada saat itu sudah yang bersangkutan betul-betul red notice sudah ada, sudah bisa tertangkap di Thailand,” sambungnya.
Modus mega korupsi e-KTP yang dilakukan Paulus Tannos
Dalam mega korupsi e-KTP dilakukan Paulus Tannos — dia berperan penting ber-kongkalikong pengerjaan proyek e-KTP.
Paulus Tannos disebut-sebut menggelar pertemuan sejumlah pihak untuk mengatur spesifikasi teknis dalam lelang proyek tersebut.
Paulus Tannos mengundang Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik yang juga PNS BPPT, Husni Fahmi, dan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI sekaligus Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya.
Usai pertemuan tersebut, Paulus Tannos diduga melakukan kongkalikong dengan sejumlah vendor lainnya untuk menyepakati fee sebesar 5 persen dari nilai proyek.
“Di situ juga disepakati fee sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban fee, yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri,” beber Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, (13/8/2019).
KPK menilai Paulus Tannos memperkaya dirinya sendiri dengan uang sebanyak Rp 145,85 miliar dari anggaran mega proyek e-KTP tersebut.
Dan ketika itu KPK telah menetapkan 14 orang sebagai tersangka, termasuk mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Harun Masiku
KPK Akui Lebih Sulit Tangkap Harun Masiku. Berdasarkan catatan, KPK telah memasukan DPO Harun Masiku sejak 17 Januari 2020 lalu.
Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Krishna Murti menyatakan, keberadaan buronan KPK Harun Masiku masih berada di Indonesia.
Krishna Murti sempat mengungkap kalau Harun Masiku terdeteksi pergi ke luar negeri.
Indonesi, Namun, satu hari kemudian Harun Masiku kembali lagi ke Indonesia.
Pihak interpol masih teru mencari — menindak-lanjuti keberadaan Harun Masiku — baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kendala teknis menangkap Harun Masiku
KPK mengaku ada kendala teknis terkait memburunya — dimungkinkan karena yang bersangkutan sudah tidak menggunakan lagi perangkat komunikasi seperti ponsel dan perangkat lainnya, hal itu yang membuat sulit di deteksi secara detail.
Dari sisi teknisnya, berbeda dengan DPO tersangka yang mudah ditangkap karena masih menggunakan alat-alat komunikasi yang memungkinkan sangat terbuka untuk terus digunakan hingga mudah dipantau.
Deputi penindakan, direktorat penyidikan KPK mengklaim terus mengevaluasi satgas KPK yang ditugaskan memburu DPO para tersangka — apabila ada yang menjadi kendala satgas KPK untuk mencari keberadaan tersangka.
Pimpinan KPK Firli Bahuri sudah memberi izin untuk segera dipenuhi apabila satgas yang ditugasi memburu Kirana Kotama, Harun Masiku dan Paulus Tannos — bila diperlukan fasilitas personel tambahan tertentu.
Harun Masiku menjadi buronan
Sebagai buronan, Harun Masiku yang diketahui sebagai tersangka suap Paruh Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024.
Status buronan Harun Masiku bersama-sama dengan tiga tersangka lain yakni mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan, mantan anggota bawaslu Agustiani Tio Fridelia dan pihak swasta bernama Saeful.
Wahyu Setiawan disebut-sebut telah menerima suap Rp 900 juta guna meloloskan caleg PDIP Harun Masiku — sebagai anggota dewan menggantikan caleg terpilih atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Harun Masiku diduga memberikan uang suap senilai Rp600 juta kepada komisioner KPU kala itu, Wahyu Setiawan.
Suap diberikan agar KPU meloloskan pergantian antar waktu anggota DPR, Dapil Satu Sumsel dari Riezky Aprilia Ke Harun Masiku.
Saat itu KPK melakukan OTT, dan Harun Masiku berhasil meloloskan dari penangkapan.
12 Januari 2020, KPK memasukkan nama Harun Masiku kedalam daftar pencarian orang atau DPO.
Pada 30 Juli 2021 nama Harun Masiku masuk red notice interpol.
Hingga saat ini Harun Masiku masih belum juga tertangkap.
Terhitung sudah tiga tahun Harun Masiku menjadi buronan hingga — Indonesia Corruption Watch atau ICW, menilai KPK tidak serius mencari Harun Masiku, bahkan ICW menduga — KPK melindunginya dari partai politik di kasus ini.
Harun Masiku bukan satu satunya tersangka buronan yang belum ditangkap KPK.
Saat ini ada dua tersangka lainnya yang juga masih dinyatakan sebagai buronan — yaitu tersangka kasus mega korupsi e-KTP Elektronik, Paulus Tannos dan Kirana Kotama tersangka suap PT Pal Kirana Kotama.***