Keenam peserta carok massal harus dirawat dan ditempatkan di dua rumah sakit berbeda, agar para pembesuk yang berasal dari dua kelompok tidak bertemu.
Perkelahian dalam budaya Carok atau Celurit, biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.
Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di mana pun di luar Madura, selalu diselesaikan dengan jalan Carok perorangan maupun secara massal.
Senjata yang digunakan selalu Celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan Celurit. Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat di luar Madura melabelkan orang Madura suka Carok dan aksi Celurit.
Budaya atau perilaku carok tidak muncul begitu saja, melainkan ada penyebab yang sangat esensial, pemicu utama dari budaya carok adalah ketika harga diri dan martabat seseorang terlukai, tercemar ataupun terinjak- injak.
Carok awalnya dipicu oleh sesuatu yang esensial dan prinsipil namun lambat laun persoalan bergeser pada masalah martabat dan harga diri, pergeseran pada persoalan- persoalan sepele dan kecil tersebut seperti perbedaan dari tiap personal (pribadi) yang menjadi pemicu carok, misalnya melanggar kesopanan, persoalan anak-anak,penghinaan dan persoalan- persoalan kecil yang mampu membakar emosi. (tim)