Akte 46, adalah perjanjian jual beli promes dengan jaminan antara Bank Indonesia dan Bank Centris Internasional yang harusnya Bank Centris dibayar oleh Bank Indonesia sebesar Rp. 490.787.748.596,16.-.
Perjanjian itu termasuk atas penyerahan promes promes (hak tagih bank centris terhadap nasabah nya) sebesar Rp. 492.216.516.580.- dan jaminan seluas 452 Ha milik PT VIP dan sudah di hipotek atas nama Bank Indonesia dengan No. 972,
Sehingga apabila promes nasabah tidak tertagih maka jaminan itu bisa di eksekusi tetapi ternyata terbukti terjadi pelanggaran terhadap perjanjian ini di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan bukti dari BPK yang di pakai oleh BPPN sebagai alat bukti dan telah di sahkan oleh hakim majelis yang mengadili perkara No. 350/Pdt.G/2000/PN.JAK.SEL.
Bahwa dana yang diperjanjikan sesuai akte No. 46 sebesar Rp.490.787.748.596,16 yang harusnya di pindah bukukan ke rekening Bank Centris Internasional no 523.551.0016 oleh Bank Indonesia tidak dilaksanakan, kenyataannya di kreditkan ke rekening rekayasa dengan Nomor 523.551.000, maka Bank Centris dimenangkan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Jakarta.
Salinan Keputusan Mahkamah Agung no 1688 K/Pdt/2003 yang diserahkan pada tanggal 2 November 2022 (hampir 20 tahun menunggu) itu ternyata tidak terdaftar di Mahkamah Agung, sesuai dua surat dari Mahkamah Agung yang menyatakan MA tidak pernah menerima Pembayaran permohonan kasasi dari BPPN.
Salinan keputusan Mahkamah Agung no 1688 K/Pdt/2003 tidak membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi, oleh karena itu kami berpatokan pada hal tersebut menyatakan keputusan inkrah adalah keputusan Pengadilan Tinggi yang amarnya menyatakan Gugatan BPPN tidak dapat di terima (NO).
Akte 39 adalah akte pengalihan cessie Bank Centris Internasional dari Bank Indonesia ke BPPN yang dibuat tanpa sepengetahuan PT BANK CENTRIS INTERNASIONAL yang digunakan oleh BPPN dalam menggugat Bank Centris di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2000, akte 39 merupakan pengalihan cessie atas akte 46 berikut semua yang melekat pada akte tersebut.
“Kami tidak bisa mengerti, gugatan BPPN di tolak di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tahun 2002 karena salah satu alasannya adanya jaminan 452 Ha yang sudah dihipotekkan atas nama Bank Indonesia dengan Nomor 972, maka menjadi heran ketika KPKNL menyatakan penyerahan tagihan itu tidak di sertai jaminan dan di perkuat dengan surat tanda terima dari BPPN terhadap Bank Indonesia, sedangkan KPKNL dan PUPN itu kepanjangan tangan dari BPPN, mengapa sedemikian lamanya terjadi ketidak selarasan tidak segera diselesaikan, sehingga tidak menjadikan berbagai persepsi,” katanya.