Refleksi Kritis dan Pemaknaan Fakta Seputar Gestok

soeharto pasca gerakan satu oktober 1965

Oleh : Dr. Antonius D.R. Manurung, M.Si.
Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum.
Penulis Adalah Ketua Umum Gerakan Pembumian Pancasila

EDITOR.ID, Dalam sejarah Indonesia apa yang terjadi pada 30 September dan keesokan harinya 1 Oktober 1965 menjadi pusaran kontroversi yang belum terselesaikan sampai saat ini.

Untuk jangka 32 tahun, pemerintahan di bawah rezim Soeharto (1966-1998) mendominasi penafsiran terhadap peristiwa yang terjadi pada hari-hari yang krusial tersebut.

Pemaknaan yang diberikan oleh rezim Soeharto terkait erat dengan ?kelanggengan? dan legitimasi kekuasaan yang ingin ditegakkan.

Klaim bahwa peristiwa di malam hari 30 September 1965 sebagai upaya Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah di bawah pemerintahan Sukarno menjadi pembenaran untuk melakukan penghancuran terhadap PKI dan kekuatan kiri di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan kekuatan kiri bukan hanya orang-orang komunis, tetapi juga kaum nasionalis kiri yang setia terhadap Republik Indonesia.

Pemunculan stigma negatif tentang PKI dan Sukarno menjadi mantra yang terus diulang oleh pemerintahan rezim Soeharto dalam setiap peringatan 30 September 1965 yang disebut sebagai G-30-S/PKI.

Penyebutan nama PKI di belakang G-30-S menjadi hal yang wajib untuk mempertegas bahwa peristiwa di malam 30 September yang padai ntinya adalah gerakan penculikan para jenderal Angkatan Darat dilakukan oleh PKI.

Nama Sukarno disangkutpautkan dengan peristiwa tersebut karena Sukarno adalah tokoh yang mengusung gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agama, danKomunisme).

Tidak ada upaya yang kritis untuk melihat bahwa apa yang dianjurkan oleh Sukarno adalah sebuah front persatuan dan bukan suatu dukungan eksplisit terhadap kekuatan komunis di Indonesia.

Sukarno adalah pemikir dan sekaligus Bapak Bangsa yang telah lama memikirkan tentang berbagai kekuatan politik di Indonesia yang secara konsisten menentang kolonialisme.

Dalam merumuskan kekuatan-kekuatan utama itu Sukarno sampai pada pemikiran adanya tiga kekuatan utama, diawali dengan ?Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (1926) dan kekuatan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme di tahun 1960.

Gagasan awal tentang tiga kekuatan utama yang hidup dalam masyarakat Indonesia ini telah dikemukakannya sejak masa Pergerakan Nasional, yaitu pada tahun 1927.

Sukarno adalah seorang yang konsisten dengan garis perjuangannya. Apa yang menjadi cita-cita dalam perjuangannya adalah Persatuan Indonesia.

Hanya dengan persatuan Bangsa Indonesia dapat mengakhiri kolonialisme dan imperialisme, dan hanya dengan persatuan pula cita-cita bangsa seperti apa yang tercantum di dalam Pancasila akan dapat diwujudkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: