EDITOR.ID – Jakarta, Masalah prostitusi melibatkan anak terus bergulir dan menjadi keprihatinan. Dalam data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per 31 Agustus, anak korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi berjumlah 88 kasus dengan didominasi oleh anak korban eksploitasi pekerja anak sebanyak 18 kasus dan anak korban prostitusi 13 kasus, dan selebihnya anak korban perdagangan.
Selain itu dalam angka itu ditemukan pula anak korban adopsi illegal, anak korban Eksploitasi seks komersial anak dan anak (pelaku) rekruitmen ESKA dan Prostitusi.
Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah mengatakan secara khusus, KPAI memantau sejak bulan Juli sampai September tahun ini pada 9 kasus di berbagai kota/kabupaten (Ambon, Paser, Madiun, Pontianak, Bangka Selatan, Pematang Siantar, Padang, Tulang Bawang Lampung dan Batam Kepri) dengan jumlah 52 korban, serta terdapat pula belasan pelaku rekruitmen dan saksi anak di bawah umur.
“Padahal sejalan dengan masa pandemi anak harus sepenuhnya berada di rumah bersama orang tua dan mematuhi protokol kesehatan, anak terpenuhi hak pendidikan dan pengasuhannya,” kata Maryati dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/10/2020).
Temuan KPAI dalam pemantauan tersebut antara lain jumlah korban prostitusi yang melibatkan anak rata-rata lebih dari satu orang pada setiap kasusnya, dengan tren anak perempuan usia paling rendah 12 tahun sampai dengan 18 tahun.
Pada hampir semua peristiwa melibatkan mucikari/penghubung dengan ragam subjek pelaku, misalnya bertindak sebagai Bos dan jaringannya yang menjalankan peran masing-masing, sehingga menjadi sebuah sindikat.
“Selain itu pola ‘teman menjual teman’ dalam lingkungan sebaya juga sangat menonjol dan trend saat ini mucikari merangkap sebagai pacar, hingga terlibat hidup bersama (kumpul kebo) agar mudah memperdaya korban. Serta mucikari yang mencabuli terlebih dahulu para korban sebelum dijual, sehingga anak terus dimanfaatkan dan mendapatkan kekerasan,” jelasnya.
Dengan demikian mucikari menjadi mata rantai perdagangan manusia yang mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan megeksploitasi anak secara seksual dalam prostitusi.
Maryati lebih lanjut menjelaskan dari 9 kasus di atas mayoritas merupakan kasus prostitusi online yang memanfaatkan kemudahan transaksi elektronik dalam menjalankan aksinya.
Mereka menggunakan beragam media sosial seperti Facebook, Mechat, Wechat dan WhatsApp yang kemudian dihubungkan kepada pelanggan.