Ketok Palu, Sah Kita Punya KUHP Baru Setelah 73 Tahun Menunggu
EDITOR.ID, Jakarta,- Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akhirnya disepakati antara Komisi III DPR dan pemerintah setelah menunggu penantian selama 73 tahun. Indonesia kini punya produk hukum baru yang digali dari pemikiran ahli-ahli hukum.
Praktisi hukum Imam Hidayat menilai pengesahan revisi KUHP dilakukan secara terburu-buru. Padahal banyak perubahan pasal pengganti KUHP warisan kolonial Belanda itu, yang substansinya masih menyisakan perdebatan yang kontroversial.
Salah satunya terkait hukuman koruptor yang diturunkan menjadi minimal dua tahun penjara. Padahal dalam KUHP lama, hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi minimal empat tahun penjara.
“Pasal yang mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ini terkesan sangat ringan dan tidak menyerap aspirasi dan rasa keadilan dari masyarakat yang mendesak pelaku korupsi dihukum berat,” ujar Imam di Jakarta.
Imam juga menyoroti perubahan pasal 281 KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi media massa atau pers. Itu seiring dihidupkannya tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) pada pasal 281.
Potensi kriminalisasi pers itu terlihat pada pasal 281 huruf C. Pasal itu berbunyi: secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Pihak yang melakukan tindak pidana itu diancam pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.
â€Kami melihat pasal ini berpotensi mengkriminalisasi pers atau publik yang memberikan masukan atau kritik terhadap integritas dan kinerja peradilan,†kata Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini.
Yang juga menurut Imam agak unik adalah definisi perkosaan dalam RUU KUHP yang mengalami pergeseran, yaitu bisa saja dilakukan oleh suami ke istrinya/perkosaan dalam rumah tangga. Dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
“Seharusnya pengesahan revisi KUHP tidak bisa dipaksa untuk selesai dengan cepat, seperti ingin buru-buru karena masa kerja DPR periode 2014-2019 bakal berakhir sebentar lagi,” tutur alumni Universitas Jember ini.
Revisi KUHP disahkan setelah mayoritas anggota DPR ketok palu. Sepuluh fraksi yang hadir dalam rapat bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly itu sepakat tanpa ada catatan.
“Izinkan saya untuk memberikan pengesahan revisi Undang-Undang KUHP untuk diketok. Bisa disepakati?†tanya Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsyudin di ruang rapat Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/9).