Keberadaan Pusat-Pusat Studi Wanita/Gender ataupun Multikultural, Demokrasi, Pancasila di kampus-kampus bisa disimpulkan sifatnya parsial dan sebatas sebagai asesori intelektual kampus. Gagasan-gagasan progresif yang diusung pusat-pusat studi tersebut belum diintegrasikan ke dalam tata kelola lembaga pendidikan. Masuk akal jika kasus kekerasan seksual, praktek eksklusifisme/ radikalisme dan bullying sering ditemukan di sekolah-sekolah maupun kampus.
Sistem pendidikan yang didesain pro kesetaraan gender akan memaksa para pemangku kepentingan di dalamnya untuk berperilaku sesuai dengan tujuan organisasi tersebut. Dunia pendidikan harusnya melakukan transformasi diri dengan menjadikan komunitasnya berkepribadian terbuka (open minded) terhadap isu keberagaman dan kesetaraan termasuk kesetaraan gender.
Asosiasi Universitas di Amerika atau semacam Forum Rektor di Indonesia pada tahun 2018 telah sepakat untuk menciptakan kampus sebagai wilayah yang aman bagi perempuan. Mereka membuat kebijakan zero toleran terhadap segala bentuk kekerasan seksual di masing-masing kampus. Kebijakan tersebut komprehensif karena meliputi aspek Pencegahan hingga Penanganan.
Pada wilayah hulu, mereka secara eksplisit mencantumkan konsep kesetaraan gender ke dalam konstitusi kampus, kurikulum pendidikan dan mensosialisasikannya dalam pembekalan dan pelatihan mahasiswa dan sivitas akademik lainnya. Komitmen tersebut juga dilembagakan sebagai standard penilaian dan evaluasi kinerja untuk unit-unit organisasi kampus maupun untuk kinerja para staf dan dosen.
Kampus-kampus di Amerika juga menyelenggarakan Bulan Anti Kekerasan Seksual sebagai sarana untuk sosialisasi isu dan konsep penanganan kekerasan seksual kepada seluruh civitas akademiknya. Bukan saja dosen, bahkan para mahasiswa juga aktif melakukan berbagai kegiatan kampanye dan pendidikan untuk menghentikan kekerasan seksual di kampus mereka.
Pada wilayah hilir – penanganan, maka prinsip yang harus dipakai adalah melakukan hal terbaik bagi korban berupa pemenuhan Hak-hak korban. Hak-hak tersebut meliputi hak pemulihan fisik, mental, keberlanjutan program akademisnya hingga hak atas keadilan dan kepastian hukum terutama sanksi dan hukuman bagi pelaku baik dari pengelola kampus maupun dari penegak hukum.
Komitmen kampus untuk perlindungan perempuan termasuk membuka diri untuk bekerjasama dengan aktivis lsm, asosiasi relawan pekerja sosial, pendamping korban hingga membuat MOU dengan kantor polisi setempat untuk memastikan jaminan proses hukum untuk korban berjalan. Kampus juga diharapkan bisa memobilisasi semua sumberdaya internal kampus untuk memfasilitasi korban KS. Klinik kesehatan, LBH kampus, pendampingan oleh dosen-dosen psikologi dan hukum bisa dikondisikan untuk membantu korban.