Perlu Peraturan Menteri untuk Perlindungan Perempuan di Lembaga Pendidikan

Oleh: Eva K. Sundari*

Eva K Sundari Perlu Peraturan Menteri Untuk Perlindungan Perempuan Di Lembaga Pendidikan
Eva K. Sundari

PELAKSANAAN pendidikan hibrid di masa kenormalan baru adalah sebuah keniscayaan walau PSBB saat ini masih terus diperpanjang. Tetapi, bagi perempuan kenormalan baru di dunia pendidikan kelak harus berisi jaminan perlindungan dari ancaman kekerasan seksual karena di masa pandemi dan sebelumnya mereka menjadi korban yang sering diabaikan oleh otoritas lembaga pendidikan.

Ada ungkapan bahwa perempuan hanya terlindungi sepenuhnya saat di rahim ibunya. Dunia pendidikan seharusnya menjadi rahim kedua bagi para siswa, laki dan perempuan, tetapi sering justru menjadi tempat berbahaya dari ancaman tindak kejahatan seksual. Para siswi sebagai korban kekerasan seksual, justru kembali dikorbankan melalui sikap pengabaian, sementara pelaku kejahatan malah melenggang tanpa hukuman karena pembiaran oleh pimpinan lembaga pendidikan.

Berdasar pengamatan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) di 9 lokasi dari Bulan Januari-Juni 2019, ditemukan 49 anak perempuan dan laki SD dan SMP telah menjadi korban kekerasan seksual. Seluruh pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi mereka yaitu guru, pelatih/pendamping dan bahkan Kepala Sekolah. Bagaimana status perempuan di masa pandemi? Memburuk.

Komnas Perempuan mencatat ada 1.299 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk anak perempuan sepanjang Maret hingga Mei 2020. Kekerasan psikis dan fisik masih mendominasi di ranah rumah-tangga, sedangkan kekerasan seksual banyak terjadi di ranah publik dan negara. Kajian ini juga menemukan kekerasan terhadap perempuan berbasis online yaitu sebanyak 129 kasus yang didominasi pengancaman bernuansa kekerasan seksual.

Temuan Komnas Perempuan di atas sejalan dengan temuan UN Women (2020) yang menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan yang dialami perempuan dan gadis meningkat setidaknya 30%. Angka perkawinan anak meningkat drastis sejalan dengan angka drop out para pelajar perempuan.

Belum ada riset memadai terkait kekerasan seksual di kampus walau pemberitaan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus cukup menyesakkan dada. Beberapa kampus seperti UGM, UII dan Unpad telah mengeluarkan kebijakan untuk penanganan kekerasan seksual di kampus setelah pemberitaan tentang kasus-kasusnya di kampusnya meledak di media atau sosial media. Bagaimana peluang adanya kebijakan membuat kampus ramah perempuan?

Analisa Institut Sarinah (2020) terkait pakta integritas untuk mahasiswa baru tahun 2020 di beberapa kampus negeri, menunjukkan masih lemahnya komitmen kampus untuk menjadikan kampus sebagai wilayah aman bagi para perempuan. Pakta-pakta integritas yang ada banyak yang tidak memasukkan prinsip pro keberagaman ke dalam tata kelola kampus. Sehingga, wajar jika kampuspun tidak responsif ke isu kesetaraan gender beserta semua implikasinya.

Adanya UU Sisdiknas, statuta PT dan visi misi kampus dan sekolah yang tidak mencantumkan komitmen atas prinsip inklusifitas bisa kita anggap sebagai sumber persoalan pemicu kekerasan seksual di dunia pendidikan. Perilaku dan mindset yang mensubordinasi dan menempatkan perempuan sebagai obyek pelecehan seksual tidak menjadi orientasi misi revolusi mental dalam pembentukan karakter komunitas sekolah maupun kampus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: