Oleh: Melda Imanuela
Sekretaris DPC PA GMNI Jakarta Selatan
Hari Ibu di Indonesia dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Berbeda dengan di Amerika dan Kanada yang merayakan Mother?s Day pada hari Minggu di minggu kedua bulan Mei.
Menelisik kembali hari Ibu bermula ketika adanya Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928. Dimana peristiwa Sumpah Pemuda membangkitkan keinginan kaum perempuan untuk sama-sama memperjuangkan kemerdekaan.
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan di tahun yang sama dengan Sumpah Pemuda (1928). Organisasi perempuan sendiri sebenarnya sudah bermula sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.
Pada tanggal 22-25 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta, dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera, dan membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Dilaksanakannya kongres ini bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia dan menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam suatu badan federasi yang demokratis tanpa memandang latar belakang agama, politik, dan kedudukan sosial dalam masyarakat.
Dan akhirnya pada tahun 1959, Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional, hingga kini.
Satu momen penting bagi para wanita, untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950.
Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa.
Untuk mengenang kongres perempuan pertama, pada kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan dibuat sebuah monumen, setahun berikutnya diletakkan batu pertama oleh Ibu Sukanto (ketua kongres pertama) untuk pembangunan Balai Srikandi dan diresmikan oleh menteri Maria Ulfah tahun 1956.
Akhirnya pada tahun 1983 Presiden Soeharto meresmikan keseluruhan kompleks monumen menjadi Mandala Bhakti Wanitatama di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta.
Bisa dilihat bahwa di masa kemerdekaan dan Orde lama perempuan Indonesia sudah memiliki pemikiran yang visioner tentang persoalan kebangsaan dan peran perempuan dalam negara Indonesia.
Dalam Kongres Perempuan Indonesia sudah menyuarakan agenda menentang poligami, menolak perkawinan anak, penolakan perdagangan manusia, perbaikan gizi dan kesehatan ibu dan anak.
Perayaan Ibu tahun 2021 ini adalah perempuan jangan melupakan sejarah pergerakan perempuan Indonesia dimana pejuang dan tokoh perempuan di masa lalu sudah memiliki pemikiran yang visioner tentang persoalan perempuan dan kebangsaan.
Mengutip kata Soekarno, …Ikut-sertanya wanita dalam perjoangan kita itu akan pasti membawa perjoangan kita kepada kemenangan. Sebab tidak ada satu perjoangan masyarakat dapat mencapai tujuan masyarakatnya, selama tidak seluruh kelas yang menjalankan perjoangan itu ikut serta dalam perjoangan itu. Kerena itulah, maka pesan kita kepada wanita buruh adalah singkat dan jelas: Ketahuilah tujuanmu, jalankanlah perjoanganmu itu dengan ulet, bersatu-padulah dengan kawan-kawan kita laki-laki. Terutama sekali: berhati beranilah! Tiada perjoangan pernah mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian hati?…( Sarinah karya Bung Karno, 1947)
Tanggal 22 Desember yang diperingati setiap tahunnya sebaga hari ibu. Maka peringatan hari ibu bukan selebrasi semata melainkan refleksi bersama sebagai gerakan bersama, dalam hal perempuan-perempuan Indonesia untuk mewujudkannya keadilan sosial yang tercantum dalam sila 5 Pancasila. Keadilan yang merata dirasakan semua orang tanpa memandang jenis kelaminnya dan gendernya. Tidak ada kekerasan seksual berbasis gender dan pemenuhan hak-haknya sebagai manusia.
Hal itu bisa tercapai salah satunya dengan menetapkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU TPKS. Dengan ini penegak hukum mulai memiliki perspektif perlindungan korban kekerasan seksual. Dalam hal penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual harus tegas tidak tumpul dibawah. Karena kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan.
Selain itu, untuk meminimalisir pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk pada anak-anak, pemerintah maupun orang tua harus senantiasa memberikan pendidikan seks sejak dini. Sebab, kekerasan seksual terjadi bukan karena pakaiannya, tapi soal kesempatan dan niat pelakunya ini menandakan isi kepalanya untuk mengontrol diri.
Pendidikan seks sedari dini ini menjadi penting sebagai langkah pencegahan atau antsipatif terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan seksual.
Perayaan Hari Ibu tahun 2021 ini perempuan jangan melupakan sejarah pergerakan perempuan Indonesia dimana pejuang dan tokoh perempuan dimasa lalu sudah memiliki pemikiran yang visioner tentang persoalan perempuan dan kebangsaan.
Perempuan harus ikut serta dalam persoalan kebangsaan bukan hanya soal hak perempuan itu sendiri. Gotong royong mewujudkan Bangsa yang beradab dan berkeadilan menciptakan rumah bersama yang ramah lingkungan, ramah untuk penyandang disabilitas, ramah untuk perempuan dan anak tanpa kekerasan seksual berbasis gender.