Sejak daerah itu kena pembebasan, setiap hilir mudik tim penilai memang menjadi perhatian masyarakat di Pateten, Aertembaga, masyarakat selalu memantau gerak gerik penilai. Seharusnya selain luar, untuk rumah harus di foto bagian dalam. “Tiba-tiba muncul nilai dan anehnya satu blok bisa berbeda jauh nilainya,†tambah Joppy.
Sebagai pihak yang diberikan mandate, Joppy menyanyangkan tanah yang masih dalam satu blok nilainya beda jauh, seperti tanah milik Rohmat potensi pendapat dari rumah tinggalnya yang ada usaha dan mampu membiayai kuliah tiga anaknya tidak dihitung. “Ke-17 warga yang kami wakili sepakat menolak hasil penilaian yang dilakukan KJPP Pung’s Zulkarnain & Rekan,†jelasnya.
Selain nilai tanah yang terlalu rendah, ke 17 warga Pateten, Aertembaga itu menuntut cara penilaian tim KJPP yang dinilai tidak optimal. “Bagaimana bisa menilai kalau hanya melihat dan memfoto dari luar,†tambah Joppy. Apakah prosedur penilaian hanya foto-foto dari luar tanpa membuktikan dari dalam objek rumah itu dan melakukan pengecekan luas tanah bisa menilai objek itu.
Keberatan itu selain dikirim ke PPK Pengadaan Lahan Jalan Tol Manado-Bitung, ke BPN setempat, juga dilaporkan ke Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).
Joppy I. Wawoh yang mewakili 17 warga itu, memang bekerja untuk memperjuangkan kepentingan warga, diberi hak dan wewenang untuk melakukan upaya segala hukum dan menandatangani surat-surat berkaitan dengan persoalan tanah milik ke 17 warga itu serta mewakili persidangan di pengadilan.
Sebagai pihak yang diberi wewenang, Joppy menambahkan memang diatas harga per meter Rp 5 juta, namun warga tidak saklek akan menuntut sebesar itu. “Tetapi setidaknya angka dikisaran Rp 3 juta sampai Rp 5 juta per meter. Kami bisa terima, tidak jomplang seperti saat ini, sebesar Rp 600 ribu,†terangnya.
“Yang penting tanah warga itu nilainya naik, kalau tidak diperkirakan terjadi tumpah darah, karena hanya itu milik warga saat ini,†tambahnya (tim)