Namun menurut Koordinator Program migas Direktorat Jenderal Minyak dan gas bumi (Dirjen Migas) Rizal Fajar Muttaqien, menyebutkan pihaknya masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu.
“Kemenprin juga sudah mengsulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT,hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini,” tegasnya.
Ditegaskan Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi RI dalam pengembangan gas dalam negeri.
Menurut Aris tantangan yang dimaksud besarasal dari sector hulu, hilir, hingga regulasi. Dari sektor hulu, Aris menyebut tingginya resiko pengembagnagn hulu migas berdampak rendahnya investasi yang masuk.
Dari sector hulu, kita tahu sector hulu merupakan poengembangan industri yang beresiko tinggi dab berdampak pada bagaimana kita undang investor masuk dalam usaha industri hulu, ujar Aris Mulya.
Sedangkan Kepala Satuan Pengembangan Teknologi dan Managemen Aset PT PLN Indonesia Power (PT PLN IP) Tarwaji Warsokusumo mengatakan bahwa Duck Curve yang terjadi di USA jangan pula terjadi di Indonesia.
“PLN harus bisa memberikan kehandalannya dalam memproduksi daya listrinya, tentunya dengan meningkatkan kapasitas PLTGU agar daya listrik bisa, untuk itu kita harus membutuhkan pembnagkit yang begitu cepat respon di California sendiri membutuhkan pembangkit 13.000mega wattuntuk menstabilkan jaringan interkoneksi,” katanya.
Dia menilai Indonesia harus menyediakan pembangkit-pembnagkit yang mempunyai fleksibilitas dalam menangan beban minimum dan maksimum. Sebab deengan kemampuan fleksibilitas ini, dapat terhindar dari bangkrut.
“Nah ini persolan pelik yang kita sediakan sebagai provider. Dimana kalau hanya mengunakan PLTU saja kita hanya bisa masuk 5 MB per menit ini sangat lambat. SWehingga kita butuhkan pembangkit listrik sejenis PLTG yang bisa merespon sekitar 88MW per menit ya” tegasnya. (tim)