EDITOR.ID ? Surabaya, Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 2021 para penulis buku dari kelompok Sarinah mengadakan Webminar membahas isu aktual terkait Permendikbud No. 30 Tahun 2021, Kamis (11/11/2021).
Acara yang bertajuk ?Sarinah Penulis Bersuara? ini dimoderatori oleh Ajeng Adinda Putri yang baru saja merilis buku yang berjudul ?Mengupas Ekonomi Kreatif?.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari saat membuka acara ini menyatakan pentingnya memperjuangan status perempuan agar mengalami perbaikan baik di ruang publik ataupun domestik.
Eva mengapresiasi inisiasi yang sempat dilakukan oleh kawan-kawan Sarinah di GMNI dalam mengakomodir kepentingan perempuan khususnya kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Menurutnya ide ini bukanlah ide tunggal, banyak kelompok dengan berbagai nama yang berbeda namun substansi sama, pungkas Eva yang juga menjadi penulis buku anomali tersebut.
Sementara itu Lucy Sandra Amalia salah satu aktivis perempuan yang saat ini aktif di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengemukakan urgensi Permendikbud ini merujuk data komnas perempuan 20 laporan paling tinggi.
?Belum tentu kasus tidak ada, seperti layaknya fenomena gunung es?, katanya.
Kampus menjadi jenjang Pendidikan tertinggi dalam konstribusi menciptakan kasus kekerasan seksual. Permendikbud No. 30 Tahun 2021 mengisi kekosongan hukum yang selama ini belum ada.
?Relasi kuasa dan relasi gender masih timpang, mahasiswa sebagai pihak yang kuasanya lebih lemah butuh kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya sebagai korban?, paparnya.
Sedangkan narasumber lainnya yakni penulis buku selendang merah, Sa?ada mengkritisi per pasal yang ada di Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Khususnya ayat 14 terkait Satgas Pendidikan sebagai dasar awal dalam membentuk sudut pandang yang sadar gender, advokasi dan lainnya.
Pada kesempatan yang sama. Maskiyatun, penulis Buku Pemikiran Kartini, mahasiswa pascasarjana Universitas Nahdatul Ulama Indonesia menyampaikan bahwa regulasi ini sangat penting untuk kepentingan korban khususnya di tataran mahasiswa.
?Dengan Permendikbud ini mahasiswa memiliki payung hukum yang jelas dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi?, terangnya.
Sementara itu, Dia Puspitasari merujuk data KPPPA dan BPS prevalensi KtP (Kekerasan terhadap Perempuan) hasil SPHPN 2016 yang menyatakan bahwa 1-3 perempuan indonesia usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan baik fisik dan ataupun seksual.
Berdasarkan data itu 32% perempuan berpendidikan tinggi lebih rentan menjadi korban kekerasan berdimensi apapun. Hal ini sangat memprihatinkan, sudah menjadi kewajiban setiap elemen masyarakat berupaya melakukan upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual.
?Bahkan, kasus aktual yang dikawal BEM UNSRI di Riau, ada mahasiswa menjadi korban pelecehan oleh dosen pembimbingnya. Ini menjadi tamparan dalam dunia Pendidikan kita. Kriminalisasi korban rentan terjadi dalam kasus seperti itu?, katanya.
Oleh sebab itu menurut Dia Puspitasari, niat baik pemerintah khususnya Mendikbud yang sudah berupaya menerbitkan regulasi yang ramah perempuan ini sangat mendapat apresiasi positif.
?Hal ini selaras dengan gagasan Gerakan Kampus Perempuan yang telah digaungkan oleh kawan-kawan sarinah sejak tahun 2018 silam yang juga ada modul di dalamnya dan terealisasi di beberapa kampus di Indonesia yakni Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Indonesia?, ujarnya.