Kuasa Hukum Klaim Edy Mulyadi Wartawan Senior
Dilindungi UU Pers Pernyataan Ngawur
EDITOR.ID, Jakarta,- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menegaskan perbuatan atau omongan Edy Mulyadi murni pidana ITE. Caleg PKS ini tidak bisa mengaku-ngaku wartawan kemudian berlindung di balik UU Pers.
Pandangan Abdul Fickar ini menanggapi soal omongan kuasa hukum Edy Mulyadi Herman Kadir kepada wartawan yang mengklaim Edy Mulyadi wartawan senior dan dilindungi UU Pers. Herman Kadir meminta kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan oleh kliennya diselesaikan dengan UU Pers.
Abdul Fickar menilai Edy Mulyadi menyampaikan pernyataan yang menjadi polemik itu tidak dalam tugas jurnalistik.
?Pernyataan langsung seperti itu ya susah (disebut produk pers). Ini kan dia nyatakan langsung, cuma dikutip oleh pers. Jadi bukan dalam rangka dia kegiatan tugas jurnalistik. Nggak konteks diselesaikan melalui UU Pers,? kata Abdul Fickar kepada wartawan, Sabtu 29 Januari 2022.
Abdul Fickar Hadjar menilai pernyataan kuasa hukum Edy Mulyadi disesalkan dan menyimpang.
Menurut Abdul Fickar, perbuatan yang dilakukan Edy Mulyadi murni kasus dugaan ujaran kebencian. Sebaliknya, penyelesaian kasus dengan UU Pers tak sesuai konteks. “Jadi tidak sesuai konteks,” ujar Fickar.
Menurut Abdul Fickar, UU Pers hanya bisa diselesaikan terkait dengan kasus yang berkaitan dengan produk jurnalistik.
Dalam kasus ini, Edy Mulyadi membuat pernyataan secara terbuka.
“UU pers bisa diberlakukan hanya terhadap pernyataan-pernyataan tertulis. Artinya hasil pemberitaan atau penulisan artikel saja. Sedangkan EM pernyataan langsung yang dikutip pers,” ucapnya.
Masyarakat Sudah Paham Hukum, Edy Jangan Bermain Kata-Kata
Abdul Fickar mengingatkan bahwa masyarakat sudah memahami hukum. Menurutnya, semua orang harus berhati-hati dalam berbicara dan bertindak.
?Sekarang ini harus hati-hati. Semua orang sudah punya kesadaran hukum yang tinggi, sehingga kalau dia ada tersinggung, masuk ke proses hukum. Jadi memang buat orang-orang yang suka bercanda memang harus hati-hati di ruang publik,? ujar Abdul Fickar.
Perbuatan Edy Memenuhi Unsur Delik Pidana
Abdul Fickar juga menyebut suatu hal dapat menjadi delik pidana apabila terdapat korban dan tindakan. Terkait laporan polisi soal ujaran Edy, Abdul Fickar berpendapat telah memenuhi unsur delik.
?Delik itu kalau ada perbuatan, ada korban. Ketika dia melakukan itu, kan sebenarnya dia juga tidak menyebut nama orang, tapi nama tempat. Delik pidananya sebenarnya dia tidak bisa dikualifikasi sebagai delik pidana orang per orang. Tapi karena menimbulkan respons yang tidak baik di masyarakat, maka itu menjadi ujaran kebencian,? tutur Abdul Fickar.
?Ujaran kebencian itu kan nggak harus ada korban orangnya. Cuma nanti saat disidang, yang harus dibuktikan adalah ?ada atau tidak? keonaran atau keributan di tengah masyarakatnya. Dengan dia dilaporkan di mana-mana, itu kan sudah terbukti sebenarnya,? sambungnya.
Meski Ada Restorative Justice Polisi Wajib Tetap Proses Hukum
Dia mendukung proses hukum yang berjalan di kepolisian. Dia menilai ujaran Edy memenuhi syarat delik ujaran kebencian.
?Jadi menurut saya nggak apa-apa diproses. Nanti dia melakukan pembelaan sekeras-kerasnya di pengadilan. Kalau sekarang, dari sudut ujaran kebencian, dia memenuhi syarat karena ada komunitas orang yang marah, melahirkan kemarahan dalam masyarakat,? tutur Abdul Fickar.
Picu Kemarahan Publik
Dia mengingatkan ada pasal ujaran kebencian yang bisa dipakai untuk orang-orang seperti Edy Mulyadi. Dia mengatakan ucapan Edy Mulyadi menimbulkan kemarahan publik.
?Ada pasal ujaran kebencian, ini kan yang dipakai untuk banyak orang yang seperti Edy, ujaran yang menimbulkan pertentangan di masyarakat. Dia tidak perlu menyebut nama orang tertentu, tapi ya itu tadi, ujarannya itu sudah menimbulkan kemarahan publik, rasa tersinggung suatu kelompok, itu ada dalam Pasal 14 KUHP yang sekarang dituduhkan itu begitu,? ujarnya.
Abdul Fickar juga mengingatkan ada koridor yang harus diperhatikan dalam hal berpendapat di muka umum. Dia mengingatkan agar pendapat tidak menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
?Kebebasan berpendapat itu boleh, tapi koridornya tidak menyinggung perasaan orang lain dan tidak berlawanan dengan undang-undang. Jadi konteks kebebasan berpendapat tuh itu, boleh orang ngomong apa saja asalkan tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat,? kata Abdul Fickar.
Dia bicara soal peluang restorative justice. Menurutnya, penyelesaian dengan pendekatan tersebut tak bisa mengesampingkan perbuatan yang dianggap salah.
?Saya berpendapat restorative justice pun tidak menghilangkan kesalahan, tidak menghilangkan perbuatan yang dianggap salah. Ini pelajaran menarik, ini pelajaran politik juga tentang kebebasan berpendapat sepanjang tidak menimbulkan permusuhan antargolongan masyarakat, silakan mau ngomong apa saja, koridornya itu saja. Ini momentum menegakkan demokrasi yang benar,? ucap Abdul Fickar.
Klaim Sebagai Wartawan dan Dilindungi UU Pers
Sebelumnya, Ketua tim kuasa hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir menyatakan, perlunya penyidik memberlakukan Undang-Undang Pers dalam memproses kasus ujaran kebencian yang menyeret kliennya itu.
Hal tersebut dinilai perlu, mengingat Edy Mulyadi yang berdasarkan pengakuannya merupakan seorang wartawan.
Terlebih, ungkapan yang dilayangkan oleh kliennya terkait pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) itu dilakukan saat sedang mengisi sebuah acara dalam kapasitasnya sebagai pekerja media.
“Ingat ya, Pak Edy ini seorang wartawan senior. Artinya pemanggilan itu dia bicara itu sebagai wartawan senior, bukan atas nama apa gitu loh. Artinya, kita juga ingin UU Pers diberlakukanlah,? kata Herman di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jumat (28/1/2022).
Herman lantas menjelaskan perihal aturan pemanggilan terhadap wartawan yang memiliki kasus.
Menurut versi dia, pemanggilan terhadap yang bersangkutan harus melalui Dewan Pers dan harus diselesaikan terlebih dahulu dalam ranah tersebut.
“Kode etik pers ada di situ, kalau memang dia melanggar ya silakan. Artinya prosedur hukum itu, sudah ada kerja sama Polri dengan PWI,” kata Herman.
“Artinya sudah jelas di situ, kalau memang apa, diselesaikan dulu lewat Dewan Pers,” tukasnya.
Sementara itu, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri melayangkan surat panggilan kedua kepada Edy Mulyadi terkait kasus dugaan hina Kalimantan.
“Tim penyidik menerbitkan surat panggilan kedua,” ujar Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, Jumat (28/1/2022).
Ramadhan mengatakan bahwa surat panggilan kedua telah diantar ke rumah yang bersangkutan dan diterima langsung oleh istri Edy.
Edy diminta hadir pada panggilan kedua. Apabila kembali tidak datang, maka akan dijemput pada Senin (31/1/2022) mendatang.
“Disertai surat perintah membawa untuk hadir pada tanggal 31 Januari 2022 hari Senin nanti jam 10,” kata dia. (tim)