EDITOR.ID – Jakarta, Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin tinggi pula potensi korupsinya. Kesimpulan inilah yang terungkap berbasis data statistik milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan berdasarkan data yang dimiliki KPK, ada tren menunjukkan koruptor adalah orang berpendidikan.’
Sedikitnya 86 persen diantaranya merupakan alumni perguruan tinggi (PT).
“Fakta menunjukkan bahwa ternyata perilaku koruptif itu ternyata seiring, linier. Sarjananya kian tinggi, masternya kian tinggi, ternyata pelaku yang koruptornya juga semakin tinggi,” kata Ghufron saat menjadi narasumber dalam acara “Virtual Studium Generale dan Peluncuran Kuliah Online Pendidikan Antikorupsi” yang disiarkan melalui akun Youtube KPK, Kamis (1/10/2020).
Menurut Ghufron yang juga alumni Universitas Negeri Jember, hal ini ini menunjukkan bahwa karakter tindak pidana korupsi itu dilakukan bukan kejahatan orang-orang yang tidak berpendidikan.
“Jadi, kalau lebih detil tadi 86 persen adalah alumni dari perguruan tinggi, dari 64 persen yang tertinggi adalah S2, dari S2 baru kemudian S1 baru S3,” kata Ghufron.
Oleh karena itu, kata dia, yang seharusnya makin tinggi pendidikan seseorang maka kian berkarakter, namun yang terjadi justru sebaliknya.
“Ternyata pendidikan kita yang semestinya kian tinggi ilmu seseorang kian berkarakter maka fakta menunjukkan bahwa ternyata perilaku koruptif itu ternyata seiring, linier, sarjananya kian tinggi masternya kian tinggi ternyata perilaku koruptifnya juga semakin tinggi,” ujar dia.
Ia menuturkan, fakta tersebut menjadi masalah karena pendidikan yang makin tinggi semestinya dapat menekan perilaku koruptif.
“Semestinya kian tinggi berpendidikan semakin rendah korupsinya. Ini yang menjadi kritik untuk kita semua, bukan hanya kepada Kemendikbud, bukan hanya kepada perguruan tinggi tapi juga termasuk kepada KPK,” ujar Ghufron.
Oleh sebab itu, Ghufron menegaskan, pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi tidak boleh terbatas pada penerapan mata kuliah saja.
Pendidikan antikorupsi harus dibarengi dengan perilaku antikorupsi di lingkungan perguruan tinggi.
Nurul Gufron menilai saat ini masih ada praktik-praktik koruptif yang dilakukan mahasiswa antara lain titip absen, gratifikasi kepada dosen, hingga melakukan plagiat. “Pendidikan antikorupsi itu tidak cukup dengan hanya mata kuliah, tidak cukup evaluasinya hanya dengan nilai A, karena perilaku korupsi sesungguhnya adalah pendidikan karakter,” tegas Ghufron.