Jadi, usulan penundaan pemilu lebih karena “coronaphobia” yang bersifat psikologis. Rasa khawatir, takut dan waswas terpapar virus mematikan ini. Padahal tingkat kesembuhannya tergolong sangat tinggi. Namun, banyak orang panik dengan peningkatan jumlah kasus setiap hari yang terus menerus bertambah. Akibatnya, daya rusak psikologis virus ini berdampak serius bagi rusaknya tatanan politik, sosial dan ekonomi akut.
Semua merasa terancam. Dan ancamannya pun terasa di depan mata. Semua berpotensi terpapar virus asal Negeri Wuhan China tersebut. Dan, virus ini ternyata banyak menjangkiti para petinggi dan pesohor negeri. Mereka putra putri terbaik bangsa yang sedang mendapat amanah mengelola negara, serta insan unggul yang kreatif dan inovatif yang mengabdi untuk kemajuan negara. Akankah negeri ini menyerah dan takluk terhadap pandemi ini?
Kebijakan new normal sesungguhnya jalan tengah dari minal khauf was syaja’ (dari takut dan berani) dari penyebaran virus dan hidup normal baru. Sayangnya, disiplin nasional yang rendah menjalani hidup dengan protokol kesehatan yang ketat, menyebabkan penyebaran virus semakin mengganas. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan kembali di DKI Jakarta sebagai rem darurat untuk mengurangi berjatuhannya para korban yang terpapar virus Corona.
Inilah latar politik kebijakan yang mendorong lahirnya usulan penundaan Pilkada Serentak. Meski, Jakarta sebagai episentrum penyebaran Virus Corona terbesar di Indonesia sedang tidak pilkada. Tapi, daerah-daerah lain di nusantara harus menerima konsekuensi politis demokratis dari usulan penundaan pilkada.
Sebab, Pilkada Serentak 2020 ini sudah pernah ditunda beberapa tahapannya pada 5 bulan yang lalu. Penundaan itu menimbulkan ketidakpastian politik dan hukum di daerah. Citra Indonesia pun buruk di mata dunia. Sebuah negara pandemis dan tak aman bagi siapa pun untuk dikunjungi, menjadi tempat tinggal, bekerja dan membangun masa depan.
Oleh karena itu, penundaan pemilu bukan persoalan sederhana. Bukan pilihan hitam putih, dan bukan pula pilihan hidup dan mati. Pertanyaan mendasarnya, apakah dengan penundaan pilkada otomatis menurunkan kasus baru? Mata rantai penyebaran virus akan terputus? Indonesia akan keluar dari krisis kesehatan ini? Pasti, siapa pun tak bisa menjamin.
Justru kebijakan penundaan pemilu merupakan kebijakan frustasi, dari pemerintah, partai, para tokoh, dan masyarakat tak bisa mengedukasi dirinya sendiri untuk hidup baru dengan protokol kesehatan. Jujur, ini kesempatan pemerintah membuat mapping pandemi untuk melakukan rapid test massal dan mencoba vaksin dalam memerangi virus global ini.
Sulit diingkari, pemberantasan COVID-19 ini, menjadi panggung selebrasi dan festivalisasi bagi sekelompok orang meraup keuntungan politis dan ekonomis. Corona sudah menjadi stigma negatif bagi korban dan keluarga sebagai penyakit kutukan. Prosedur penanganan pasien rawat inap atau jalan, ataupun jenazah korban dari virus Corona, yang isolatif, membuat keluarga korban mengalami diskriminasi sosial. Warga lain membuat jarak, yang melukai warga lain dalam interaksi sosial. Atas nama pemberantasan virus Corona, jutaan keluarga korban kehilangan hak asasinya untuk memperlakukan korban dengan baik, sebagaimana tuntunan birrul walidain (berbuat baik terhadap orang tua) dan mu’asyarah bil ma’ruf (bergaul dengan baik).