EDITOR.ID, Surabaya,- Dia Puspitasari, Mahasiswi Pascasarjana UI ini mengapresiasi Kemendikbud yang dengan tegas membuat kebijakan dalam rangka mewujudkan kampus yang aman dari predator kekerasan seksual di Institusi Pendidikan.
Menurutnya, Permendikbudristek No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Langkah konkret pemerintah khususnya Kementerian terkait yang menunjukkan bahwa keberpihakan negara terhadap korban kekerasan seksual di ranah institusi Pendidikan itu nyata.
Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai Menteri termuda telah menunjukkan kapasitasnya dalam memimpin di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan teknologi Indonesia pada Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Presiden Joko Widodo-K.H Ma’ruf Amin ini telah mengeluarkan regulasi yang sangat humanis di ranah institusi Pendidikan.
Kebijakan ini dibuat sebagai langkah yang tepat agar kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi bisa dicegah, dan bisa dilakukan penanganan secara tepat.
“Tentu berperspektif gender dan berpihak pada kepentingan korban,” tegasnya.
Dia Puspitasari menyebutkan, Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik mengenai prevalensi kekerasan fisik dan atau seksual menurut latar belakang pendidikan, kekerasan fisik dan atau seksual cenderung lebih rentan dialami perempuan berpendidikan tinggi (SMA ke atas). Sekitar 4 dari 10 (39,4%) perempuan berpendidikan tinggi mengalami kekerasan fisik dan atau seksual selama hidupnya. Sedangkan, pada perempuan berpendidikan rendah angka prevalensi kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual selama hidup lebih rendah yaitu 30,6% (3 dari 10).
Demikian juga pada periode 12 bulan terakhir perempuan usia 15-64 tahun baik dengan latar belakang pendidikan tinggi mengalami kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual dengan tingkat prevalensi yang lebih tinggi (10,5%). Dibandingkan perempuan usia 15-64 tahun dengan latar belakang pendidikan rendah (9,3%).
Dari data di atas, menurutnya, dapat dianalisis bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi idealnya peluang menjadi korban kekerasan harusnya lebih rendah, namun realitanya justru perempuan yang berpendidikan tinggi lebih rentan menjadi korban kekerasan.
Lebih lanjut Dia mengatakan, Pelibatan masyarakat kampus, juga sebagai perwujudan gotong royong ala Pancasila dalam memerangi kasus kekerasan seksual.
“Tentu sebagai elemen masyarakat kampus yang juga harus memegang teguh Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam implementatisinya,” tegasnya.
Permendikbud PPKS ini sebagai panduan dalam penyusunan tahapan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengedepankan manusia yang memuliakan harkat dan martabat manusia dalam kesetaraan.
Dehumanisasi termanifestasi dalam praktek kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.
Lanjutnya, Permendikbud PPKS itu memberikan kepastian hukum terkait kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.
“Sebagai mahasisiswa, Permendikbud PPKS ini merupakan inisiatif yang menunjukkan kemajuan serta komitmen pemerintah dalam menciptakan ruang aman yang menghadirkan perlindungan di lingkungan perguruan tinggi,” ujarnya.
“Oleh sebab itu sudah seyogyanya kita sebagai satu kesatuan Bangsa Indonesia wajib hukumnya mendukung seluruh kebijakan pemerintah yang memang berpijak pada nilai-nilai Pancasila yang humanistik, salah satunya Permendikbud 30 Tahun 2021 mengenai PPKS ini,” pungkasnya. (Tim)