Oleh: Ngatawi Al Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia
Memasuki area Rumah Budaya Sumba, kami merasa teduh dan damai. Suasana alam yang tenang dengan bangunan yang tertata astri membuat kami nyaman berdiskusi, menggali informasi. Rumah Budaya Sumba ini didirikan oleh seorang Frater, Robert Ramone pada tahun 2011.
“Bukan usaha yang mudah untuk mendirikan tempat ini, karena kami harus meyakinkan berbagai pihak tentang pentingnya rumah budaya†kata Frater Robert membuka diskusi.
“Saya sempat ditertawakan dan dianggap gila ketika menyampaikan gagasan tentang rumah budaya ini tapi setelah meyakinkan beberapa kali akhirnya gagasan ini bisa diterima untuk direalisasikanâ€, tambahnya
Rumah Budaya Sumba ini terletak di Waetabula dengan luas 50 hektar. Dana pembangunan berasal dari sumbangan individu atau lembaga yang memiliki komitmen terhadap pengembangan budaya Sumba.
Menurut Frater Robert Ramone, pembangunan rumah budaya Sumba ini dimulai pada tahun 2004 dan selesai tahun 2011. Dan sampai saat ini terus dikembangkan dan mendapat respon positif dari masyarakat. Dibuktikan dangan banyaknya pengunjung yang datang baik warga lokal, wisatawan dari berbagai daerah sampai turis dari mancanegara.
Di rumah budaya Sumba ini tersimpan berbagai koleksi budaya Sumba. Mulai dari peralatan rumah tangga, perhiasan, kain tenun hingga benda-benda purba yang memiliki nilai sejarah seperti tombak, parang, tembikar, terompet, patung-patung kuno bahkan kedang yang terbuta dari kulit manusia tersimpan di sini.
Ada sekaitar 5.750 benda peninggalan leluhur yang tersimpan di museum yang ada di rumah Budaya Sumba ini. Benda-benda ini berasal dari sumbangan berbagai kalangan dan beberapa diantaranya merupakan koleksi Fratef Robert.Selain museum, di konpleks ini juga terdapat ruang diskusi, penginapan dan panggung pertunjukan.
Selain menyaksikan berbagai benda sejarah di rumah budaya ini pengunjung bisa menyaksikan pagelran seni tradisional yang dibawakan oleh seniman lokal. Ada beberapa sanggar seni di sekitar rumah budaya yang melakukan pertunjukan di pangung hiburan yang ada di lokasi rumah budaya. Selain menonton pagelaran, para pengunjung bisa ikut menari bersama para penari.
Mengawali pembicaraan Frater Robert mengisahkan keinginannya memelihara dan mengembangkan budaya Sumba. Frater menjelaskan kepercayaan Marapu yang dianut mayoritas masayrakat Sumba bersifat animistis, mengajarkan keseimbangan hidup manusia dengan alam. Untuk mengangkat tradisi dan mengaktualisasikan potensi adat Sumba, Frater Robert mulaia berangkat dari fotografi, keahlian yang dimiliki oleh Frater Robert sejak dirinya masih menempuh pendidikan di Yogya.