Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis Pendakwah dan Seniman
Di kota Serang terjadi sweping terhadap warung makan yang buka di siang hari saat Ramadhan. Tindakan ini langsung viral di medsos dan memancing perdebatan publik. Kementrian Agama RI menolak tindakan tersebut karena dianggap bertentangan dengan UU HAM.
Namun Wali kota Serang Banten berargumen, sweeping dilakukan oleh aparat pemerintah kota (satpol PP) adalah sah, sebagai pelaksanaan surat hibauan no 451.13/335-Kesra/2021 yang mengatur restoran dan sejenisnya (warung makan-pen) tutup pada pukul 04.30 hingga 16.00.
Menurut Wali Kota Serang Syafrudin, kebijakan tersebut berdasarkan kesepakatan antara Pemkot, Kemenag dan MUI kota Serang melalui rapat Resmi.Wali Kota juga merujuk SE Menag nomor 3 Tahun 2021 sebagai dasar argumentasi penerbitan kebijakan Walikota dengan semena-mena mensweeping orang berdagang makanan.
Selanjutnya wali Kota Serang, Syafrudin, juga mengamcam pidana kurungan selama kurang lebih tiga bulan atau denda maksimal Rp 50 juta. Ancaman ini, menurut Syafrudin, sesuai dengan Perda no. 10 tahun 2010.
Selain menggunakan dalil hukum positif (SE Menteri Agama, Perda dan surat himbauan), sang Wali Kota ini juga menggunakan dalil etik-reigius untuk melegitimasi kebijakannya yaitu untuk menghormati orang yang sedang melakukan ibadah puasa.
Seolah-olah kebijakan Walikota ini mendzolimi pedagang kecil dan penutupan warung makan dengan cara sadis yakni sweping, merupakan tindakan mulia yang sesuai perintah agama.
Artikel pendek ini tidak akan membahas argumen yuridis sang Wali Kota, tetapi mepertanyakan argumen etis yang terkesan mulia dan religius.
Apakah kebijakan penutupan warung makan di siang hari saat Ramadhan yang dilanjutkan dengan tindakan sweeping dan ancaman hukuman itu sesuai dengan etika dan ajaran Islam?
Kalau kebijakan dan tindakan sweeping itu untuk menghormati orang yang sedang melaksanakan ibadah puasa, apakah orang yang itdak berpuasa tidak berhak dihormati?
Sebenarnya, ajaran Islam tidak hanya menyuruh menghormati orang yang berpuasa, tetapi juga menghormati orang-orang yang tidak berpuasa karena ada alasan syar?i.
Sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis; ?Dari Anas ra, ia berkata, kita pernah bepergian bersama Rasulullah saw pada bulan Ramadhan, sebagian diantara kita ada yang berpuasa, dan sebagian yang lain ada yang tidak berpuasa. Orang-oraang yang berpuasa tidak mencela kepada orang yag tidak berpuasa, dan orang yang tidak berpuasa (juga) tidak mencela orang yag berpuasa?
Hadits ini mensyiratkan bahwa orang yang tidak puasa memiliki hak yang sama untuk dihormati sebagaimana orang yang berpuasa
Artinya tidak hanya orang berpuasa saja yang harus dihormati, tetapi orang yang tidak berpuasa juga harus dihormati.
Menjelaskan tentang makna hadits tersebut, Syech Nuruddin bin Abdul Hadi Abu al-Hasan as-Sanadi dalam kitabnya, Hasyiyah as-Sanadi ?ala An-Nasa?i menyebutkan ?secara agama seorang yang berpuasa tidak boleh mengingkari ketidakpuasaannya orang yang tidak puasa. Dan tidak boleh juga orang yag tidak puasa mengingkari kepuasaannya orang yang yang berpuasa. Karena keduanya (puasa maupun tidak puasa) itu sama boleh dilakukan?.
Hadits tersebut juga menyiratkan, tidak ada larangan bagi orang yang tidak puasa untuk makan di hadapan orang yang berpuasa apalagi sampai menutup akses ketersediaan makanan bagi orang yang tidak puasa dan memberlakukan mereka seperti orang yang berpuasa dengan alasan menghormati orang yang tidak berpuasa.
Artinya tidak boleh memberlakukan orang yang tidak puasa sama dengan orang berpuasa demi menghormati orang yang berpuasa.
Dalam Islam ada orang-orang tertentu yang diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan yaitu orang sakit, musafir, perempuan hamil, menyusui dan sedang haid, anak-anak yang belum baligh, orang yang sudah tua serta non-muslim.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, orang-orang yang tidak diwajibkan puasa ini juga berhak dihormati dan mereka berhak memperoleh akses mendapatkan makanan.
Atas dasar inilah maka para kyai dan ulama dahulu tidak pernah memberikan fatwa yang melarang membuka warung dan restoran di siang hari saat bulan Ramadhan.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak puasa mendapatkan akses memperoleh makanan. Dan tidak menjadikan kita yang sedang berpuasa menahan diri dari akhlak tak terpuji, bersabar justru mau menang sendiri dan mengaku paling benar dan mulia
Untuk menghormati mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa, cukup diberikan himbauan agar orang yang tidak puasa tidak makan di hadapan orang yang sedang berpuasa.
Para ulama dahulu cukup memberikan himbauan agar warung makan dan restoran yang buka di siang hari saat Ramadhan ditutup dengan kain atau hanya membuka pintu masuknya saja agar mereka yang makan tidak kelihatan oleh orang yang sedang berpuasa.
Apa yang dilakukan oleh para kyai dan ulama tempo dulu ini merupakan tindakan yang bijak, karena dengan cara ini mereka yang berpuasa tidak terganggu. Demikian sebaliknya mereka yang tidak berpuasa tetap bisa terpenuhi hak-haknya untuk mendapatkan makanan secara mudah.
Inilah cara yang sehat untuk menghormati orang yang sedang melakukan ibadah.
Berpijak pada hadits Nabi di atas serta pemahaman dan kearifan para ulama Nusantara tempo dulu, maka kebijakan yang diambil oleh Wali Kota Serang yang disepakati oleh MUI Serang tersebut merupakan kebijakan yang tidak tepat dan cenderung berlebihan karena sama dengan merampas hak-hak mereka yang tidak puasa.
Bahkan jika kebijakan ini sampai menimbulkan kerusakan (mafsadah) terhadap mereka yang tidak puasa maka kebijakan ini sudah bisa disebut dhalim.
Wali kota berdalih bahwa orang-orang yang tidak berpuasa bisa makan di rumah masing-masing. Ini cerminan berpikir yang menggampangkan persoalan, tidak sensitif terhadap kesulitan orang lain.
Wali kota hanya berpikir hak orang yang berpuasa dan mengabaikan hak-hak orang yang tidak berpuasa, yang sebenarnya juga dijamin oleh agama.
Wali kota Serang tidak berpikir bagaimana kesulitanpara pekerja yang tidak puasa yang harus balik balik ke rumah hanya untuk makan. Wali Kota tidak peka terhadap kesulitan para musafir yang kelaparan di tengah jalan karena warung dan restoran dipaksa tutup.
Wali kota juga tidak membayangkan kesulitan seorang ibu menyusui yang kelaparan karena tidak sempat masak makanan di rumah. Semua orang yang mestinya memiliki hak mendapatkan perlindungan dan memperoleh makanan secara mudah ini harus menerima kesulitan akibat kebijakan Wali Kota yang ?agamis? ini.
Jika memang benar-benar mau menghormati orang berpuasa, mengapa yang ditutup hanya warung makan dan restoran, mengapa iklan makanan di TV yang menyangkan sajian makanan yang menggiurkan tidak ditutup?
Kalau mau konsisten mestinya Wali Kota juga melarang penayangkan iklan makanan di siang hari karena hal ini lebh menggoda dan lebih tidak mengormati orang yang berpuasa. Atau kalau tidak bisa melarang penayangan iklan makanan, mengapa tidak menerbitkan kebijakan melarang menyetel TV di siang hari,dengan alasan ada iklan makanan yang bisa mengganggu orang yang berpuasa?
Sebenarnya ada cara yang lebih bijak untuk menghormati orang yang berpuasa tanpa mengabaikan hak orang yang tidak berpuasa sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ulama terdahulu yaitu mewajibkan para pengelola menutup restoran dan warung makan merekan dengan kelambu, tirai atau pintu jika mau buka di siang hari saat Ramadhan.
Tapi Mengapa Wali Kota tidak mengambil kebijakan seperti ini? Apakah kebijakan seperti ini anggap kurang agamis dan kurang religius?
Apakah kebijakan seperti yang dilakukan para kyai dan ulama tempo dulu itu bertentangan dengan SE Menag nomor 3 Tahun 2021 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri tahun 1442H/2021M?
Atau kebijakan para ulama dahulu itu kurang memiliki bobot dan dampak politik yang kuat?
Beberapa fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan Wali Kota Serang mengenai penutupan warung makan dan restoran di siang hari saat Ramadhan yang dilanjutkan dengan sweeping dan ancaman hukuman denda dan kurungan badan ini jelas tidak memiliki landasan agama yang kuat dan hanya memikirkan satu kelompok saja yaitu mereka yang menjalankan ibadah puasa dengan mengabaikan hak-hak orang yang tidak puasa yang menurut agama juga perlu dijaga.
Kebijakan ini terlalu berlebihan dalam menafsirkan ajaran agama sehingga cenderung menjadi dhalim, karena mengabaikan hak-hak orang lain yaitu mereka yang tidak puasa yang secara agama juga perlu dilindungi dan dihormati. (Tim)