Menggali Spirit Pancasila Dari Bali

Batin kami semakin teriris saat melihat tempat pertinjukan dan galeri bertaraf internasional itu rusak dan bocor di beberapa tempat. Lebih teriris lagi saat melihat beberapa koleksi benda antik yang ada dimuseun teronggok dan lapuk karena tidak terawat. “Pandemi telah membuat kami harus berangkat dari minus, bukan hanya dari nol” kata penjaga galeri.

Hari berikutnya kami kembali berdiskusi untuk merumuskan strategi pembudayaan Pancasila berdasar pengalaman para seniman dan pelaku budaya Bali. Penulis berkesempatan memandu acara diskusi.

Paul Hendro, seorang pelukis, menyatakan perlunya membuka ruang kreasi yang bisa membuat semua orang bisa berinteraksi secara bebas dan nyaman. Dengan cara ini berbagai perbedaan akan dapat didialogkan secara alamiah sehingga nilai-nilai Pancasila akan bisa diaktualisasikan dan dipraktekkan dalam kehiduan nyata.

Ada hal menarik yang disampaikan Gung Dhe, seorang penggerak sosial dan aktivis kebudayan Bali yaitu pentingnya menggali khazanah kebudayaan dan tradisi Nusantara sebagai sumber kreatifitas untuk pembudayaan Pancasila.

Menurut Gung Dhe, ada banyak konsep dari ajaran leluhur yang bisa dikembangkan,seperti “desa, kale, patre”.

“Desa” mencerminkan dimensi ruang yang membentuk kesadaran spatial. Artinya aktualisasi Pancasila harus memperhatikan kodisi ruang Indonesia yang beragam. “Kale” berarti waktu, artinya pembuadayaan Pancasila harus memperhatikan dimensi waktu yang selalu berubah. “Patre” adalah keadaan sebagai cerminan dari ruang dan waktu. Ketiga dimensi ini harus selalu diperhatikan dan menjadi kesadaran bagi setiap pelaku pembudayaan Pancasila.

Selanjutnya Gung Dhe menjelaskan konsep “langon, ingon dan angon”. “Langon” adalah sikap sadar, eling, mengenali diri dan alam; “Ingon” adalah berarti menguatkan kembali (revitalisasi); “angon” berarti mengelola atau berkarya.

Ketiga konsep ini merupakan siklus untuk menjaga keselarasan hidup. Agar hidup ini bisa damai maka seseorang harus selalu ingat, eling dengan cara mawas diri. Dari sini akan timbul kekuatan diri melakukan revitasisasi yang diwujudkan dalam berbagai karya untuk mengelola kehidupan.

Untuk bisa melakukan hal tersebut perlu mengkaitkan antara situs, ritus dan status. Selama ini terjadi hubungan yang terpisah antara situs dan status. Situs hanya menjadi benda mati yang tanpa makna, karena kehilangan ritus. Sebaliknya ritus yang dilakukan tidak berbasis pada situs yang ada, akibatnya kehilangan spirit dan ruh.

Akibat hubungan yang terpisah ini, maka situs dan status menjadi kehilangan status, tidak memiliki legitimasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: