“Mereka bangga merasa dapat mempermainkan pasukan Inggris, yang dari segi keperkasaannya jauh lebih menonjol,” ujar Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Militer Inggris sendiri sudah menghentikan sama sekali aksi bombardir dan penembakan artileri sejak hari Minggu, 2 Desember 1945.
Menurut Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku, sekira 15 ribu orang Indonesia meninggal akibat aksi militer tentara Inggris tersebut. Dari pihak Inggris sendiri diperkirakan 1200 prajurit gugur (termasuk dua jenderal) dan ratusan lainnya hilang atau melakukan aksi pembelotan ke kubu lawan.
Tiga versi peristiwa Rapat Raksasa di Tambaksari Surabaya
Dalam catatan Inggris sendiri, Pertempuran Surabaya disebut sebagai pengalaman tempur terberat pasca Perang Dunia II. Dalam surat kabar New York Times edisi 15 November 1945, para serdadu Inggris menjuluki “The Battle of Soerabaja” sebagai inferno atau neraka di timur Jawa.
Palmos menyatakan keterlibatan Inggris di Indonesia pasca menyerahnya Jepang merupakan suatu “kecelakaan”. Itu terjadi selain adanya sikap meremehkan pihak Inggris terhadap daya juang orang-orang Indonesia, juga karena kecerobohan pihak intelijen Belanda yang memberikan informasi keliru sekitar situasi Indonesia pasca berakhirnya Perang Dunia II.
Heroisme Pertempuran Surabaya berpengaruh besar kepada daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di beberapa titik wilayah Jawa lainnya, tentara Inggris harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang tak kalah sengit dari Surabaya.
Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari, pada tanggal 28 November 1945, namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan setelah itu. Sebagai penghormatan atas jasa para pahlawan yang dengan berperang dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, tanggal 10 November 1946 Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Tindakan Inggris untuk menghukum pasukan Indonesia di Surabaya, dianggap Mansergh sebagai hukuman yang pantas atas pelanggaran terhadap peradaban. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh Inggris pada tanggal 10 November, justru mencerminkan tindakan pelanggaran terhadap peradaban dan kemanusiaan secara nyata. Kematian Mallaby seakan hanya dijadikan Casus Belli, untuk menghancurkan kekuatan militer Indonesia di Surabaya.
Selain itu, pertempuran Surabaya, dimanfaatkan untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda serta menjalankan keputusan Konferensi Yalta yakni pengembalian situasi pada Status Quo, seperti sebelum invasi Jepang.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka, meskipun harus dibayar dengan nyawa.
*****