Oleh : Imam Hidayat
Penulis Adalah Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sedang Menempuh Program Doktoral FH Universitas Brawijaya
EDITOR.ID,- Demokrasi merupakan sebuah prinsip kenegaraan yang telah disepakati secara kolektif oleh pendiri bangsa yang eksistensinya termuat dalam tubuh Pancasila (State Fundamental Norm) Konstruksi demokrasi memberikan konsep baru yaitu negara hukum yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Salah satu Hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara melalui Undang Undang Dasar 1945 ialah Kebebasan berekspresi. Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 berbunyi; ?Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.?
Turunan aturan tersebut tertuang dalam beberapa Peraturan perundang-undangan, antara lain Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak Hak Sipil Dan Politik) dan lain lain.
Berkaitan dengan hal tersebut baru-baru ini tanah air kita sedang dipertontonkan lunturnya alam demokrasi terkait kebebasan berpendapat dengan ditandainya pelaporan tokoh aktivis Haris Azhar dan Fatia oleh LBP.
Kasus Haris dan Fatia bermula ketika LBP melaporkan tayangan Youtube bertajuk ?Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!?
Dalam video itu, Fatia dan Haris membicarakan hasil riset terkait konflik di Intan Jaya, Papua, hubungannya dengan tambang emas di sana yang mereka sebut turut dikuasai oleh perusahaan milik LBP.
Dalam laporannya, LBP mempersangkakan Haris Azhar dan Fatia dengan Pasal 45 Juncto Pasal 27 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE.
Pelaporan Haris dan Fatia bisa menandakan kebebasan berpendapat di negeri ini sudah tidak mempunyai ruang, padahal kita tahu kebebasan berekspresi adalah pilar utama negara demokrasi dan berfungsi sebagai komponen fundamental atau utama dalam berpartisipasi sebagai kontrol rakyat guna memperbaiki tata kelolah negara oleh penguasa yang lebih baik.
LBP sebagai tokoh negarawan yang menjabat sebagai Menteri Koordinator kemaritiman dan Investasi seharusnya mengetahui konsekuensi itu ?dikritik? dan keharusannya.
Disamping itu, polisi juga harus menggunakan perspektif penghormatan hak asasi manusia dalam menegakkan hukum dan keadilan agar tidak mencederai kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Seharusnya pendekatan musyawarah mufakat harus diutamakan sesuai dalam sila ke-4 Pancasila. Salah satu manifesto perumusan sila tersebut ialah penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif (Restoratif Justice)
Menelisik lebih dalam pemberian nestapa atau penjatuhan pidana terhadap seseorang yakni ?Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea? yang memiliki arti bahwa suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali dengan sikap batin yang salah.
Dalam hal ini untuk dapat dipidananya seseorang harus dipenuhi dua hal yaitu actus reus (physical element) dan mens rea (mental element).
Berkaitan dengan hal tersebut Aparat Penegak hukum dalam perkara pelaporan Haris dan Fatia atas dasar pencemaran nama baik oleh LBP, harus cermat dalam melihat niat (mens rea).
Apakah Haris dan Fatia mempunyai niat jahat dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik?
Apakah Haris dan Fatia benar-benar mempunyai tujuan/kepentingan menjatuhkan marwah Luhut?
Atau apakah Haris dan Fatia dalam berbicara melalui media tersebut sedang berperan sebagai rakyat yang peduli terhadap Bangsa Indonesia dengan cara mengkritisi pejabat pemerintah demi terciptanya good governance.
Jika niat Haris dan Fatia mengkritik dalam upaya meminimalisir kebrutalan pejabat negara dengan tujuan menyelamatkan negara dari lingkaran oligarki, tentu aparat penegak hukum harus segera menutup perkara tersebut demi kepentingan hukum maupun demi kepentingan umum, jika tidak, lonceng matinya alam demokrasi mulai terdengar keras, dan demokrasi di Indonesia berada dalam titik nadir. (***)