EDITOR.ID, Jakarta,- Putusan hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) meringankan vonis penjara terhadap koruptor Edhy Prabowo dari 9 tahun penjara menjadi hanya 5 tahun memunculkan polemik. Atas dasar atau alasan apa hakim kemudian memberikan potongan hukuman sampai banyak sekali atau 4 tahun.
Putusan ini menimbulkan pertanyaan dan rasa penasaran publik. Pasalnya Edhy Prabowo jelas-jelas sudah dinyatakan bersalah menerima suap dan merugikan negara. Namun hukuman yang seharusnya ia terima atas perbuatannya kenapa justru dikurangi.
Tak hanya publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyoroti keringanan hukuman yang diberikan majelis hakim MA dalam kasasi.
Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime sehubungan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memotong hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
“Putusan majelis hakim seyogianya juga mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime,” ujar Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (10/3/2022).
Komitmen Pemberantasan Korupsi dari Penegak Hukum Dipertanyakan
Menurutnya, pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen kuat dari seluruh elemen masyarakat. Termasuk keadilan dari putusan penegak hukum itu sendiri.
Mengingat, korupsi sebagai musuh bersama dan kejahatan luar biasa maka cara-cara pemberantasannya pun dengan cara yang luar biasa.
Salah satu di antaranya melalui putusan yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa terulang.
“Karena pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik,” tegas dia.
Kendati demikian, KPK tetap menghormati putusan kasasi MA terhadap Edhy Prabowo tersebut.
“Saat ini, kami belum menerima pemberitahuan resmi putusan dimaksud. Segera setelah diterima, akan dipelajari putusan lengkapnya tersebut,” tuturnya.
Pertimbangan Hakim Edhy Prabowo Sejahterakan Nelayan
Diketahui, hal ini terkait Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi masa tahanan Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo. Terpidana korupsi itu mendapat korting hukuman empat tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya, mantan politikus Gerindara itu dihukum sembilan tahun penjara, kini menjadi lima tahun.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dengan pidana denda sebesar Rp 400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta, Rabu (9/3/2022).
Putusan kasasi tersebut diputuskan pada 7 Maret 2022 oleh majelis kasasi yang terdiri atas Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.
“Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok,” ungkap Andi.
Terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo tersebut.
“Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa sebagai Menteri sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan,” sebut hakim.
Menurut hakim, Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020.
“Dengan tujuan adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster guna kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan karena lobster di Indonesia sangat besar,” ungkap hakim.
Hakim kasasi menyebut Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020 tersebut mensyaratkan pengekspor untuk mendapat benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL.
Perbuatan tersebut dinilai hakim bertujuan untuk memanfaatkan benih lobster demi kesejahteraan masyarakat dengan memberdayakan nelayan. “Sehingga jelas perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil,” kata hakim.
Hakim Tutup Mata Putusan Menteri Ekspor Benih Lobster Terbit Karena Suap
Namun hakim tak pernah melihat fakta dalam pertimbangannya bahwa Edhy Prabowo terbukti menerima duit panas senilai USD 77 ribu dan Rp 24,6 miliar dari pengusaha dalam kasus suap ekspor benih lobster. Padahal fakta tersebut jelas terungkap di pengadilan jika Edhy Prabowo menerima uang miliaran dari eksportir benih lobster.
Artinya penerbitan Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020 bukan didasari untuk mensejahterakan nelayan tapi karena sebagai pejabat tinggi atau Menteri, Edhy Prabowo punya kuasa dan kekuasaannya itu dibeli dengan cara disuap.
Vonis inilah yang menjadi sorotan publik usai meringankan hukuman pidana penjara Edhy Prabowo dari 9 tahun tinggal hanya 5 tahun atau dikurangi 4 tahun.
Padahal pada 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga telah memperberat vonis Edhy menjadi 9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan USD 77 ribu serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.
Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut maka Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022. (ant)