Penulis Dr Muhadam Labolo
Dekan FPP Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Ditengah dinamika dalam pesta demokrasi kali ini, banyak orang bertanya sampai kapankah stabilitas politik dalam negeri akan normal kembali?
Jika melihat konflik diibaratkan luka yang ada dalam tubuh kita. Pada tahap pertama maka ada penawar atau kekebalan tubuh (self immunity) yang akan mengobati dirinya sendiri sebagai respon alami.
Pada tahap selanjutnya, konflik yang ibarat luka tersebut membutuhkan pertolongan orang lain, bergantung sejauh mana stadium konflik kian menanjak.
Pelajaran yang bisa ditarik, bagi kita bahwa semakin kaya akan pengalaman sebuah bangsa menghadapi konflik dan punya kemampuan mengelola maka semakin kuat pula kualitas anti bodi yang membentengi bangsa tersebut.
Apalagi apabila kesadaran kolektif masyarakat tumbuh lebih cepat dari dugaan kita, maknanya imunitas raga suatu bangsa jauh lebih adaptif merespon setiap masalah yang dihadapinya.
Sisanya tinggal bagaimana membalut ekses konflik lewat terapi yang sungguh-sungguh sampai benar-benar mencapai kesembuhan kolektif.
Persoalan sembuh sangat bergantung pada seberapa serius kita merawat konsensus yang telah dicapai dalam jangka panjang.
Bila kekebalan suatu bangsa mengalami pelemahan, maka sadar atau tidak pihak luar berkepentingan mengambil untung sekaligus menyembuhkan konflik ke titik ekstrem.
Pola-pola penyelesaian luka akibat konflik bisa dipilih lewat mediasi, rekonsiliasi, bahkan arbitrasi.
Pengalaman kita di tahun 1998 menunjukkan bahwa penyembuhan paling sederhana dilakukan lewat reformasi.
Suatu upaya mengembalikan khittah kemajemukan ke dalam wadah Indonesia tanpa mesti berlumuran darah akibat revolusi.
Cara terakhir itu kadang menjadi pilihan ekstrem yang dalam kenyataan dibanyak negara menunjukkan perpecahan tanpa berkesudahan.
Dalam waktu lama mengutip kata Presiden Abraham Lincoln, a house divided againts its self cannot (sebuah rumah yg terbelah melawan dirinya, tak akan sanggup bertahan).
Konflik pada esensinya adalah energi yang terpendam dalam masyrakat. Dalam kestabilan masyarakat tetap saja berpotensi konflik.
Itulah mengapa kedamaian dianggap sebagai konflik yang sedang merelaksasi, sementara konflik itu sendiri dipandang sebagai kestabilan yang sedang tidur.
Dalam sistem sosial selalu saja terdapat dua gejala yang saling berhadapan yaitu konflik dan integrasi.
Sejarah menunjukan bahwa kecerdasan kita mengelola konflik tidak saja mampu menciptakan konsensus baru juga mampu melakukan distribusi otoritas secara relatif baik.