EDITOR.ID, Semarang,- Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS menilai, tantangan yang dihadapi media siber saat ini adalah munculnya ideologi baru dalam berjurnalistik. Setidaknya bisa menggambarkan konten digital saat ini memiliki dua wajah yaitu wajah ?malaikat? dan wajah ?iblis?.
? Konten berwajah ?malaikat? ini diasumsikan yang sesuai fungsi pers sesuai UU 40/1999 yaitu sebagai memberikan informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial. Sebaliknya, wajah ?iblis? diterjemahkan sebagai konten yang berfungsi bisnis dan berorientasi viralitas yang menabrak nilai-nilai berjurnalistik dan bermedia,?ungkapnya saat menjadi narasumber dalam Webinar Tantangan Media Siber di Masa Kini dan Masa Mendatang yang digelar secara hybrid (luring dan daring) di Gedung Pers, Semarang, Senin (21/3/2022).
Menurutnya, dua wajah sebenarnya sudah kita perkirakan, kita duga. Ada perlombaan yang mempengerahui struktur media, tapi tak terbayangkan menjadi ideolagi baru yaitu ideolagi viralitas.
? Pemahaman budaya pop dan keinginan memunculkan faktor pembeda, yang menyebabkan seolah-olah boleh mengabaikan mutu, menabrak nilai-nilai dan demi konten yang viral,? kata dosen jurnalistik di sejumlah perguruan tinggi itu.
Webinar yang digelar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jawa Tengah ini juga menghadirkan pembicara Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Undip Rouli Manalu PhD, GM Network Service Assurance Jateng dan DIY PT Telkomsel Eko Prasetyo, Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun serta dimoderatori Ketua SMSI Jateng Agus Toto Widyatmoko.
Ratusan peserta terlibat dalam webinar ini yang didukung penuh oleh Telkomsel dan mendapatkan apresiasi dari PWI Jateng dan Dewan Pers.
Diakui Amir, saat ini banyak pihak berada dalam kebimbangan, apakah nilai-nilai jurnalistik masih bisa dipertahankan dalam dunia media digital saat ini. Pada realitasnya, teori jurnalistik ataupun standar-standar memperoleh informasi melalui proses verifikasi sudah terabaikan.
?Model-model copy paste dan merakit isu-isu melalui status FB dan cuitan Twitter saat ini seolah-seolah sudah menjadi produk jurnalistik. Ruang-ruang bisnis demi konten vitralitas sudah memenuhi dunia digital kita. Semua? the show must go on?. Nyatanya pernyataan seksi memang lahir dari status FB dan cuitan Twitter,? ujarnya.
Dia juga menyoroti bagaimana tren jurnalistik saat ini seragam dengan konten pindah agama, memfasilitasi body goals perempuan dan memasuki ruang-ruang privat rumah tangga.
?Sudah saatnya kita kembali ke wajah ?malaikat? dan memegang teguh Kode Etik Jurnalistik agar bisa menjaga dari segala bentuk pertikaian akibat eksploitasi SARA,? kata penulis buku dan penyair ini.
Pertarungan Digitalisasi