EDITOR.ID, Jatim, – Sungguh ironis dan tragis sekali. Masak gara-gara beda keyakinan untuk dikuburpun harus dipersulit dan didzolimi. Nasib ini dialami keluarga mendiang mas Totok, warga perumahan Bumi Sooko Permai, desa Sooko kecamatan Sooko Mojokerto. Jenazah Mas Totok ditolak dikubur di desanya sendiri karena ia dianggap bukan warga Muslim.
Kabar ini aku dapat dari Gus Kukun Triyoga, aktifis GUSDURian Mojokerto, yang juga merupakan teman dekat mas Totok, Kamis (8/7/2021).
Almarhum adalah jemaat Paroki St. Yoseph Mojokerto yang juga aktif di GUSDURian Mojokerto. Diduga kuat ia meninggal karena Covid-19.
“Apa penolakan ini bukan karena almarhum terkena covid-19, Kun?” tanyaku.
Kukun menolak penyebabnya karena faktor Covid. Menurutnya, penolakan ini lebih dikarenakan mas Totok bukan orang Islam.
Ya, menurut Kukun, warga non-Islam memang dilarang dikubur di sana.
Makam desa Sooko memang dikenal tidak cukup ramah terhadap warganya yang non-Muslim.
Tidak ditemukannya plang bertuliskan “Makam Islam,” di sana menandakan setiap warga desa –apapun agamanya– memiliki hak yang sama untuk dimakamkan disana. Namun belakangan ini karakter sebagian warganya mulai berubah menjadi kurang menghargai toleransi dan perbedaan keyakinan meski orang tersebut asli warga desa tersebut.
Menurut Kukun, penolakan ini setidaknya merupakan kejadian kedua yang menimpa warga non-islam di desa Sooko. Ada yang berubah dan ada yang salah dari adab, budaya dan nilai-nilai desa ini dari warisan para leluhurnya karena desa ini dulunya dikenal desa yang warganya sangat menghargai perbedaan keyakinan dan masih mewarisi sejarah peradaban Majapahit yang meluhurkan budaya Jawa. Namun lambat laun mulai tergerus pemahaman baru yang sempit.
Sekitar enam bulan lalu, tambahnya, ada warga jemaat gereja Tabernakel bernama bu Emi. yang juga ditolak dimakamkan di desa Sooko. padahal ia adalah warga desa tersebut.
?
Setelah ditolak, jenazah bu Emi dibawa ke pemakaman Kristen Balongrawe Kedungsari. Tragisnya, warga setempat menolak jenazah tersebut.
Menurut Kukun berdasarkan informasi dari gereja, keluarga almarhumah sempat kebingungan dan melapor ke kepolisian untuk mencari jalan keluar pemakaman.
Akhirnya jenazah bisa dimakamkan di makam Bong Cino depan Jembatan Timbang Trowulan Mojokerto setelah pejabat bupati saat itu, Pung Kasiadi, turun tangan dan ikut menanggung pembiayaan pemakaman.
“Kabarnya habis 9 juta agar bisa dimakamkan di sana,” lanjut Kukun.
Hal yang sama juga menimpa almarhum Mas Totok. Setelah tidak dizinkan dikubur di desanya sendiri, jenazahnya juga ditolak warga sekitar saat akan dimakamkan di pekuburan Kristen Kedungsari.
Jenazah Mas Totok terpaksa harus dibawa sejauh 126 kilometer dari Mojokerto; menuju pemakaman keluarganya di Garum Blitar. Ia sudah tenang di sana bertemu Tuhannya.
Yang justru tidak tenang adalah teman-teman GUSDURian Mojokerto, terutama Kukun.
Seniman yang pernah menjadi santri di Salafiyah Syafiiyyah Asembagus Situbondo ini disambati banyak orang Kristen.
Mereka kuatir bagaimana nasibnya beserta keluarga saat meninggal dunia nanti.
Menurut Kukun, Pemerintah kabupaten Mojokero tidak boleh diam.
Mereka harus menjamin tersedianya tempat pemakaman umum tanpa membedakan agama dan etnis di Sooko dan juga seluruh desa di kabupaten Mojokerto, sebagaimana telah diatur PP No. 9 Tahun 1987.
“Mesakno lho, mas. Yok opo nasibe wong-wong Kristen iku engkok? Pemerintah tidak boleh seperti ini,” suaranya terdengar galau.
Kukun juga menyinggung peristiwa Ngares Kidul kecamatan Gedek Mojokerto tahun 2019 lalu.
Peristiwa tersebut menimpa jenazah almarhum ibu Nunuk.
Jenazahnya dibongkar dari makam desa karena ia beragama Kristen dan dipaksa dikuburkan ke desa lain.
Untungnya, setelah dilakukan advokasi beberapa pihak, akhirnya pemdes Ngares Kidul melunak.
Mereka menyediakan sebidang tanah untuk pemakaman baru. Bu Nunuk dikubur di sana.
Fakta-fakta ini sebenarnya menantang kita, khususnya banyak orang Mojokerto yang begitu bangga dengan kemajapahitannya. Majapahit dianggap sebagai simbol kebinnekaan dan komitmen mengayomi semua warga.
Simbol itu meskipun nyata namun, harus diakui, tampak semakin delusional. Majapahit terasa semakin pahit untuk bu Nunuk, bu Emi, dan mas Totok. (***)