Namun, untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah bagi Presiden Joko Widodo. Ia tersandera aturan, Undang-Undang yang memproteksi, melanggengkan zona nyaman, dan menjadikan posisi ASN atau PNS adalah jabatan, pekerjaan atau posisi yang sangat kuat.
Meski SDM PNS atau ASN itu tidak bisa mengikuti irama kemajuan dan keinginan orang nomor satu di republik ini, bahkan seorang Presiden Jokowi tidak mampu “menjangkau” atau “menyentuh” mereka.
Status dan posisi ASN atau PNS ini sangat kuat bahkan lebih kuat dari jabatan politik. Mereka bertahun-tahun menjadi raja-raja di lembaga birokrasi, menguasai anggaran, menguasai kebijakan hingga menguasai keputusan sehari-hari dalam tataran operasional pemerintahan maupun negara.
Bahkan ada seorang menteri pernah mengeluh kepada penulis. Suatu ketika ia ditegur Presiden karena program kerja yang akan dilakukan saat ia dipercaya sebagai menteri tidak jalan. Ditunggu satu minggu tidak jalan, dua minggu, satu bulan hingga seterusnya tidak jalan.
“Semua pejabat eselon sudah saya panggil saya briefing, saya perintah untuk menjalankan program saya, didepan saya mereka bilang siap, akan dilaksanakan dan sebagainya, tapi di belakang saya sudah lain lagi. Ketika saya tunggu tidak jalan-jalan, sedih saya,” ujar sang menteri tersebut curhat kepada penulis.
Kenapa perintah sang menteri ini tidak dijalankan? Faktor pertama, perintah sang menteri itu tidak ada dalam “Kitab Juklak” yang dipatuhi PNS dan sudah bertahun-tahun jadi budaya birokrasi. Oleh Presiden hal ini disebutnya sebagai orang yang hanya bekerja linier. Jadi birokrasi itu baru jalan ketika kegiatan itu sudah diprogram minimal dua bulan atau setahun sebelumnya.
Kedua, menyangkut anggaran. Di dalam budaya birokrasi itu tidak akan jalan apapun anda punya ide, gagasan atau inovasi jika tidak ditopang dengan anggaran. Dari sanalah birokrasi itu berpikir seperti kacamata kuda. Mereka menunggu apa perintah “uang” (baca APBN/APBD) baru mereka akan jalan. Kalau tidak ada anggaran, boro-boro melaksanakan, memikirkan saja mungkin tak ada dalam benak mereka.
Nah kalau yang memerintah uang atau APBN/APBD, tidak usah disuruh pun saling berebutan untuk melaksanakan.
Bahkan hanya untuk membeli kebutuhan ATK kantor yang nilainya tidak seberapa jika itu menyangkut penggunaan anggaran negara maka birokrasi akan berlomba-lomba untuk tampil sebagai eksekutor. Karena disana ada rejeki yang terselip.
Dalam anggapan dan analisa penulis, kemungkinan besar Presiden Jokowi sudah paham tradisi dan budaya birokrasi yang jalannnya seperti kura-kura itu. Padahal dalam pemerintahannnya yang kedua Jokowi butuh jalan cepat. Butuh kecepatan hingga 200 kilometer per jam untuk melakukan perubahan agar Indonesia bisa maju minimal sejajar dengan negara tetangga Malaysia atau Singapura.