Dan mereka sangat hebat, seperti dalam publikasi untuk menarik calon pengikut paham mereka, tidak dengan cara mendoktrinasi tapi dengan cara-cara yang mudah. Sehingga membuat orang ikut tertarik untuk membaca, memahami dan mendalaminya. “Ini merupakan tantangan terberat kita bersama untuk mencegah pemahaman mereka yang sudah dicuci otaknya melalui forum diskusi,” katanya.
Dalam kuliah umumnya bertema “Demokrasi dan Tantangannya Dalam Menjaga Persatuan dan Kesatuan”, Kapolda juga menyoroti masifnya penggunaan media sosial di masyarakat sebagai tantangan demokrasi di Indonesia.
“Media sosial itu tantangan buat kita. Di tengah-tengah kita melaksanakan demokrasi karena banyak sekali isu-isu, berita-berita hoaks, ujaran-ujaran kebencian yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Jenderal Gatot Eddy Pramono.
Gatot melihat bahaya dari tersebarnya berita bohong atau hoaks di media sosial, terutama yang bernuansa politik identitas.
Gatot menekankan penggunaan media sosial yang tidak terkontrol di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang didominasi kelompok kelas bawah berpotensi menimbulkan gesekan sosial jika tidak dikelola dengan baik. Dia menyoroti perbedaan-perbedaan di kalangan masyarakat kelas bawah yang tergolong ekstrem.
“Di Indonesia, kondisi masyarakat low class nilai-nilai primordialisme itu semakin meningkat. Pertama terkait ras, suku, agama, kedaerahan, dan bahasa itu semakin mengental dan menguat. Perbedaan ekstrem ini yang mereka angkat. Dan jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi konflik sosial,” paparnya.
Isu SARA yang berbau politik identitas ini dinilai Gatot sebagai akar dari tindakan yang intoleran dan radikal. Ini juga menjadi berbahaya karena mereka yang terpapar oleh paham ini disebut tidak jarang memiliki keinginan merebut kekuasaan atau memisahkan diri.
“Ke depan itu adalah primordialisme yang muncul seperti politik identitas, radikalisme, intoleransi. Menguatnya kritis identitas dan nasionalisme sempit membuat mereka ingin memisahkan diri dari negara induknya, banyaknya konflik horizontal, adanya insurgency, aktor nonstate juga menggunakan sumber daya militer, politik yang dia miliki untuk merebut kekuasaan atau dia untuk memindahkan, memisahkan kekuasaan. Ini yang terjadi,” sambung Gatot.