Oleh : Edi Winarto
Penulis Advokat, Pengurus Peradi dan Praktisi Hukum
Kemunculan teknologi digital yang memudahkan manusia saling menjalin komunikasi jarak jauh melalui aplikasi jejaring sosial memunculkan dua dampak sosial. Pertama adalah dampak positif. Teknologi digital berbasis platform media sosial telah mampu mempersatukan antar umat manusia untuk saling bersilaturahmi saling mengenal satu sama lainnya dan menambah pertemanan baru melalui jejaring sosial dan komunikasi jarak jauh yang lebih cepat.
Media sosial juga menjadi media yang paling cepat dibanding media lainnya dalam penyebaran informasi yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat. Misalnya meletusnya Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang nun jauh di timur pulau Jawa.
Informasi mengenai meletusnya Gunung Semeru sudah bisa kita saksikan videonya lengkap dengan teriakan dramatis dan kejadian riil warga terdampak erupsi dalam hitungan menit.
Si penyebar informasi tinggal merekam visual erupsi gunung Semeru melalui ponselnya. Hitungan detik dia menyebarkan ke grup WA, twitter, instagram, facebook. Kemudian unggahan si penyebar disebarkan lagi oleh puluhan pengguna media sosial.
Maka peristiwa itu sudah bisa disaksikan masyarakat dari Aceh hingga Merauke dalam hitungan menit. Cukup membuka WA, twitter, youtube, facebook, instagram atau beragam platform media sosial lainnya.
Dampak positif lainnya, platform media sosial juga melahirkan sarana atau media untuk saling berbagi info baik secara tulisan, audio hingga video.
Kesimpulan sementara penulis dalam hitungan detik kita sudah bisa mendapatkan informasi dari ujung dunia. Demikian pula kita mampu menyebarkan (broadcast) informasi apapun, baik melalui tulisan, audio hingga video informasi yang kita sampaikan, kita rekam dan kita produksi ke segala arah secara global.
Kedua dampak negatif. Ditengah adanya dampak positif, kemajuan teknologi informasi berbasis media sosial juga melahirkan dampak negatif. Yakni munculnya informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan (hoax) demi sebuah kepentingan tertentu atau mencari perhatian publik.
Kecepatan informasi yang dihasilkan oleh teknologi digital tak semuanya menghasilkan hal positif. Informasi yang tersampaikan di media sosial, pada awalnya dilakukan untuk hal-hal yang positif.
Namun belakangan ini, media sosial sudah digunakan sebagai alat propaganda negatif. Yakni mulai dari memproduksi informasi hoaks, ujaran kebencian (hate speech), alat memfitnah hingga tawuran online.
Apa itu tawuran online? Tawuran online adalah sebuah percakapan di grup media sosial baik melalui twitter, wag, facebook yang didalamnya adalah dua kubu atau lebih yang saling menyerang. Kubu satu yang didukung beberapa akun menyerang kubu lain.
Tema tawuran beragam dari mulai isu agama, isu kebijakan pemerintahan, pemimpin sebuah negara, hingga isu pertemanan antar kelompok masyarakat.
Para pelaku yang memiliki akun di media sosial yang didedikasikan untuk berperang di media sosial atau istilahnya disebut tawuran online biasa mereka menyebutnya buzzer.
Kehadiran peperangan online untuk saling beradu narasi, membangun persepsi, dan provokasi publik dunia maya memunculkan dampak negatif yang luar biasa. Peperangan di media sosial telah melahirkan perubahan budaya dan peradaban manusia.
Mereka saling mencaci maki sepuasnya, saling mengejek, saling memfitnah. Kemudian membangun cerita agar mendapat simpatik publik lainnya, membangun citra seolah orang paling benar, membangun opini seolah korban kedzaliman dan sebagainya.
Peperangan online melahirkan fenomena baru yakni munculnya kejahatan berbasis ujaran kebencian, provokasi, membangun rasa permusuhan. Media yang digunakan adalah media sosial baik melalui youtube, twitter, instagram, WAG, facebook dan media sosial lainnya.
Contoh kasus ujaran kebencian di Indonesia adalah kasus ketika Luna Maya memaki infotainment lewat Twitter yang terjadi pada akhir tahun 2009. Kalimat yang diucapkan Luna Maya pada saat itu adalah, ?Jadi bingung kenapa manusia sekarang lebih [mirip] setan dibandingkan dengan setannya sendiri…apa yang disebut manusia udah jadi setan semua??; ?Infotaiment derajatnya lebih hina daripada pelacur, [atau] pembunuh! May your soul burn in hell!? (sumber Wikipedia)
Peristiwa ini diduga ketika Luna menghadiri acara premier film ?Sang Pemimpi? yang berlokasi di EX Plaza, tanggal 15 Desember malam hari.
Pada saat itu, Luna sedang menggendong anak kandung dari Ariel. Meski sempat dilaporkan ke polisi, bahkan melibatkan Tantowi Yahya untuk mediasinya dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), akhirnya damai menjadi jalan tengah. PWI, atas nama Priyo Wibowo, mencabut laporan terhadap Luna Maya yang dituding telah melakukan pencemaran nama baik melalui akun Twitter.
Selain itu ada contoh kasus lain, yaitu kasus Prita yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional lewat e-mail. Kejadian dimulai pada tanggal 7 Agustus 2008 sekitar pukul 20.30 ketika Prita datang ke UGD karena keluhan panas selama 3 hari, sakit kepala berat, mual, muntah, sakit tenggorokan, tidak BAB selama 3 hari, dan tidak nafsu makan.
Pada saat pemeriksaan darah, ternyata terbilang jumlah trombosit Prita 181.000/ul dan kemudian dilakukan terapi.
Selama 4 hari dirawat, ternyata gejala-gejala tersebut sudah mulai menghilang, namun timbul gondongan yang muncul di lehernya. Setelah mengetahui adanya gondongan di lehernya, Prita langsung izin pulang dan mengisi formulir saran karena merasa tidak puas dengan layanan yang diberikan oleh rumah sakit.
Tidak hanya lewat form saran, tetapi juga membuat surat lewat e-mail dan situs dengan judul “Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang”, yang kemudian disebarluaskan ke berbagai alamat e-mail.
Kedua contoh diatas adalah kasus ujaran kebencian namun secara definisi dan syarat verbal sulit dikatakan sebagai ujaran kebencian yang sesungguhnya. Pasalnya mereka hanya melakukan curhat yang mereka alami di media sosial. Bukan berniat dengan sengaja yang dalam bahasa hukumnya disebut “mens rea” untuk menjatuhkan, menghina, membenci obyek yang dikritiknya.
Sehingga menurut hemat penulis untuk mendefinisikan perbuatan Ujaran Kebencian harus didasarkan pada adanya niat atau mens rea dari si pelaku yang memang ingin menghina, mendegradasi atau menjatuhkan wibawa seseorang.
Contoh kasus ujaran kebencian (hate speech) yang paling tegas dan nyata adalah ketika ada sejumlah akun yang penulis lihat di media sosial menghina, membully, memfitnah dan mencaci maki seorang Presiden Joko Widodo dengan kata-kata dan istilah-istilah yang tidak pantas dan santun. Bahkan banyak yang menyebarkan berita bohong (hoaks) seputar Presiden Joko Widodo di media sosial yang membuat prihatin penulis.
Ujaran kebencian (hate speech) bisa berarti tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain.
Ujaran kebencian biasanya menyangkut dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Dalam arti hukum Ujaran Kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Dalam bahasa Inggris, hate speech diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah lisan (slander), fitnah tertulis (libel). Dalam bahasa Indonesia, belum ada istilah yang sah untuk membedakan ketiga kata tersebut.
Situs yang menggunakan atau menerapkan hate speech ini disebut hate site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas sudut pandang tertentu.
Ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong.
Pidana terhadap ujaran kebencian dilakukan karena tindakan itu bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik social.
Hampir semua negara di seluruh dunia mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hate speech. Contohnya adalah Britania Raya, pada saat munculnya Public Order Act 1986 menyatakan bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindakan kriminal adalah ketika seseorang melakukan perbuatan “mengancam, menghina, dan melecehkan baik dalam perkataan maupun perbuatan” terhadap “warna kulit, ras, kewarganegaraan, atau etnis”.
Di Brazil, negara mempunyai konstitusi yang melarang munculnya atau berkembangnya propaganda negatif terhadap agama, ras, kecurigaan antarkelas, dll.
Di Turki, seseorang akan divonis penjara selama satu sampai tiga tahun apabila melakukan penghasutan terhadap seseorang yang membuat kebencian dan permusuhan dalam basis kelas, agama, ras, sekte, atau daerah.
Di Jerman, ada hukum tertentu yang memperbolehkan korban dari pembinasaan untuk melakukan tindak hukum terhadap siapapun yang menyangkal bahwa pembinasaan itu terjadi.
Adapun di Kanada, “Piagam Kanada” untuk hak dan kebebasan (Canadian Charter of Rights and Freedoms) menjamin dalam kebebasan berekspresi namun dengan ketentuan-ketentuan tertentu agar tidak terjadi penghasutan.
Sementara di Indonesia, R. Susilo menerangkan bahwa yang dimaksud dari “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu.
Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu
- Menista secara lisan (smaad)
- Menista dengan surat/tertulis (smaadschrift)
- Memfitnah (laster)
- Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
- Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht)
- Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Semua penghinaan tersebut hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari individu yang terkena dampak penghinaan.
Pasal-pasal yang mengatur tindakan Hate speech terhadap seseorang semuanya terdapat di dalam Buku I KUHP Bab XVI khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317, dan Pasal 318 KUHP. Sementara, penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap pemerintah, organisasi, atau suatu kelompok diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu:
- Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP)
- Penghinaan terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP)
- Penghinaan terhadap pegawai agama/pemeluk agama (Pasal 177 KUHP)
- Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan pasal 208 KUHP)
- Penghinaan terhadap orang yang mau duel (Pasal 183)
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (?UU ITE?) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (?UU 19/2016?), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber.
Bijak dalam menggunakan media sosial, dalam perkembangannya di era digital sekarang ini bukan hanya ?mulutmu harimaumu? melainkan juga ?jarimu harimaumu?.
Kasus hukum yang marak belakangan ini adalah berhubungan dengan Tehnologi yaitu Internet dan Media Sosial, termasuk kasus pencemaran nama baik lewat media sosial internet.
Bahkan bisa dikatakan hampir setiap hari sebenarnya terjadi kasus serupa, yang hal ini disebabkan semakin bebasnya masyarakat dalam mengekpresikan pendapatnya melalui internet dalam hal ini media sosial. Salah satu kasus yang sangat sering terjadi adalah kasus penghinaan atau pencemaran nama baik lewat melalui media sosial internet.
Sebelum adanya media sosial pengaturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal-pasal KUHP sebagai berikut :
Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi :
(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-?.
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
Pasal 315 KUHP, yang berbunyi
?Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.?
Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi :
?Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik?, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi :
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.
Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan.
Oleh karenanya bagia nda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.
Selain itu suatu kalimat atau kata-kata yang bernada menghina atau mencemarkan nama baik, supaya bisa dijerat pidana harus memenuhi unsur dimuka umum, artinya jika dilakukan secara langsung harus dihadapan dua orang atau lebih, dan jika melalui media sosial harus dilakukan ditempat yang bisa dilhat banyaka orang semisal wall facebook, posting group, dan lain sebagainya. Kalimat hinaan yang dikirim langsung ke inbox atau chat langsung tidak bisa masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik, karena unsur diketahui umum tidak terpenuhi.
Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci.
Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik.
Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2).
Pasal 51 ayat (2) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (berbagai sumber)