Oleh Muhammad AS Hikam
Penulis Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Persatuan Nasional.
Sekarang Kepala Program Studi Hubungan Internasional di President University.
Saya tak pernah jemu untuk mengingat-ingat kata bijak almaghfurlah Gus Dur yang satu ini: “Tidak penting apapun agama atau sukumu… Kalau kamu bisa berbuat BAIK untuk semua, orang-orang tidak pernah tanya apa AGAMAMU.”
Kata bijak ini sangat relevan dalam rangka mendorong sikap pluralistik dan mengayomi serta berfikir dan berlaku atau bertindak tanpa dibingkai sekat-sekat identitas.
Laku baik adalah sebuah tanggungjawab pribadi dan sosial yang TAK PERLU diklaim dan dipertanyakan latar belakang identitas pelakunya!
Namun saat ini, ketika terjadi laku jahat terhadap kemanusiaan, bangsa, dan negara RI, dalam bentuk terorisme seperti di Makassar atau wilayah lain sebelumnya, saya dihadapkan oleh wacana penghadapan antara identitas agama dan pelaku serta gagasan di baliknya.
Pertanyaan atau pernyataan bernada menggugat “Apa agama dan kitab suci para teroris tsb” atau “kenapa pemeluk agama tertentu sering melakukan aksi yg hina tsb” atau tudingan pseudo ilmiah bahwa “agama tertentu memang mengajarkan kekerasan dibanding agama lainnya” dst dsb…
Seolah kata bijak almaghfurlah GD kenudian menjadi sebuah klaim yg satu arah belaka. Seolah peringatan Gus Dur hanya berlaku untuk laku baik saja.
Jika demikian, kata bijak tersebut menjadi relatif, bukan sebuah norma etika tanggung jawab yg universal. Karena jika ada laku dan sikap jahat, seolah kita PERLU bertanya: “Apa agama para pelaku aksi jahat tsb?”
Jika mau konsisten dg norma tanggungjawab yg diutarakan almaghfurlah GD, mungkin tak bermanfaat juga untuk mempeetajyakan, memghuhat, dan menuduh soal latar belakang agama, suku, ras darinpara pelakunya.
Kalaupun mereka mengklaim bhw agama tertentu sebagai motivator atau inspirator atau bahkan instruktor, itu hanya sekedar klaim kosong.
Dan orang tak perlu repot-repot menanyakan apa latar belakang agamanya. Apalagi menuding bhe agama tertentu bertanggungjawab atas sikap dan laku merusak tsb!
Membaca dan memahami kalimat bijak almaghfurlah GD memerlukan kemampuan utk juga memahami implikasinya secara lebih mendalam. Kata “berbuat baik” bisa saja dipahami dengan sebaliknya.
Sehingga efeknya menjadi lebih dahsyat, yakni bahwa gagasan dan aksi serta laku baik dan buruk keduanya adalah tanggungjawab pribadi dan sosial para pemili dan pelakunya.
Wacana dan debat tentang agama yg dikaitkan dg aksi teror lantas tak produktif atau mengajak kita mencari solusi bersama sebagai manusia, bangsa, ummat beragama, dan warganegara.
Wacana tsb malah akan dikapitalisasi oleh para pelaku teror dan organisasinya sebagai keberhasilan utk memecah belah, adu domba, saling tuding dsb.!
Saya tentu saja tidak melarang wacana dan debat publik tentang agama dan tanggungjawab sosial dalam kehidupan: ideologi, politik, ekoomi, dan sosial budaya. Namun perlu ada sebuah fokus dan prioritas yg ditujukan kepada pencapaian kemaslahatan kemanusiaan, kebangsaan, dan individual.
Dengan cara demikian kata-kata bijak almaghfurlah GD akan makin relevan secara aktual karena menjadi norma dasar etika tanggung jawab yang universal. (tim)