Gibran kemudian menceritakan kisah dan tantangan yang pernah dia hadapi saat menjabat Wali Kota Solo. Tantangan itu adalah intoleransi.
Gibran membagi pengalaman bagaimana perjuangannya melawan kelompok intoleran demi menaikkan angka toleransi di Solo.
Pertama pada perayaan Imlek, Gibran memerintahkan stafnya memasang lampion dan patung di sudut-sudut kota untuk ikut menyemarakan acara Perayaan Imlek dan menghormati penganutnya. Namun ia mendapat protes dan penolakan dari warga. Bahkan Gibran mengaku ia diserang tuduhan sebagai anteknya China.
Hingga pada perayaan Natal, Gibran kembali memerintahkan pegawai Pemkot Solo memasang pohon Natal di sepanjang jalan Kota Solo. Lagi-lagi, kebijakan Gibran saat masih menjabat Walikota Solo mendapat tentangan dan protes dari warga. Namun Gibran tak gentar dengan ancaman kelompok Intoleran. Dia tetap teguh memasang pohon Natal.
“Jadi kita mau merayakan Natal, pasang pohon-pohon Natal banyak yang protes juga. Tapi kalau tiap kali diprotes ya Bapak Ibu, ya saya tidak akan mundur, justru saya bilang ke panitianya, panitia Imlek, Natal, tahun depan digedein aja,” kata Gibran.
Menurutnya, angka intoleransi di Solo sempat tinggi, bahkan masyarakat sering protes ketika ada perayaan Imlek hingga Natal.
Hingga akhirnya, Solo berhasil masuk sebagai kota toleran nomor sembilan di Indonesia. Bahkan, di tahun 2023, Solo berhasil menjadi kota toleran nomor empat.
“Jadi ini kerja keras seluruh warga, dukungan dari seluruh agama, Kiai, romo-romo, pendeta, semua gotong royong biar image Solo tidak seram seperti dulu,” ujar Gibran.
Menurutnya, yang paling dibutuhkan adalah dialog yang damai. Mulai dari melibatkan tokoh-tokoh agama hingga anak-anak muda. (tim)