Batam, EDITOR.ID – Pembangunan Rempang Eco-City menjadi sorotan setelah pemerintah daerah memasang patok tata batas wilayah pengembangan kawasan itu, Kamis pekan lalu. Warga Rempang menentang. Senin 11 September 2023, unjuk rasa muncul di depan kantor BP Batam.
Taba Iskandar yang kini menjadi Anggota DPRD Kepri angkat bicara. Nama Taba Iskandar muncul ke publik menjelaskan apa yang sebenarnya ada di balik pengembangan Pulau Rempang.
Taba Iskandar ikut meneken surat rekomendasi DPRD Batam pada 2004 karena pada waktu itu ia menjabat sebagai Ketua DPRD Batam.
Surat rekomendasi itu membuka masuknya investasi ke kawasan pulau Rempang. Dibenarkan tapi dibantah Taba Iskandar.
Surat rekomendasi itu berisi persetujuan dan dukungan Pemerintah Kota Batam untuk mengembangkan kawasan di Rempang, sebagai kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata yang bekerja sama dengan PT MEG.
Penandatanganan perjanjian kerja sama Pulau Rempang antara Pemko Batam serta Otorita Batam dan PT Makmur Elok Graha, 26 Agustus 2004.
Taba Iskandar membenarkan rekomendasi itu tapi membantah proyek Rempang sekarang merupakan proyek lanjutan dari 2004.
Taba Iskandar menegaskan surat rekomendasi saat itu tidak berkaitan dengan pengembangan Rempang Eco-City.
Sebab rekomendasi DPRD ketika itu diperuntukkan buat Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif (KWTE).
Sebagai Ketua DPRD Batam saat itu Taba bersama beberapa petinggi Batam hanya menandatangani Proyek KWTE alias pengembangan pulau, di luar pulau induk (Batam) dengan menggandeng pihak swasta, PT MEG.
“Waktu itu untuk mengembangkan pulau di luar Batam, mau dibuat seperti di Sentosa, Singapura,” kata dia. “Saya perlu konfirmasi bahwa statement Kepala BP Batam yang menyatakan bahwa proyek ini sudah mulai sejak 2002. itu hal yang berbeda. Waktu itu saya menjabat ketua DPRD 2000-2004. tidak sama dengan yang sekarang. Seakan-akan ini hanya meneruskan. Mari silakan dibuka,” tambah Taba, Selasa 12 September 2023.
Taba menjelaskan saat itu memang ada kerja sama antara BP Batam, Pemko dan PT MEG. Sementara DPRD saat itu hanya memberikan rekomendasi agar investasi berjalan.
Semua kegiatan hiburan malam dipindahkan ke Rempang. Itupun Rempang Laut yang Pulaunya terpisah dari daratnya. Namanya, Kawasan wisata terpadu ekslusif.
“Yang direncanakan itu Rempang pulau, bukan Rempang darat,” kata dia lagi.
“Karena status lahan itu, HPLnya belum ke BP. tidak juga ke Pemko, tapi Pemko mengklaim itu kewenangan dia karena bukan wilayah kerja BP Batam. Makanya BP tidak bisa mengalokasikan ke sana. maka munculah istilah yang namanya status quo dan ada Kepres-nya. Artinya, tidak boleh BP atau Pemko. Jadi masih tanah negara ada hutan lindung dan lainnya,” kata Taba.
Persoalan Rempang berasal dari perjanjian KWTE rekomendasi saat itu. Taba menjelaskan rekomendasi DPRD tidak berlanjut karena Kapolri saat itu beranggapan bahwa kawasan wisata itu akan dibuat tempat judi. “Maka MoU tidak berlaku lagi,” kata Taba.
Kelanjutan saat ini Rempang masih dikelola PT MEG. PT MEG masuk ke Rempang lagi melalui pemerintah pusat. Berbeda dengan konsep awal tahun 2000-2004. “Jadi ini bukan lanjutan. Itu namanya penipuan publik,” katanya.
Saat ini dinamakan Proyek Strategis Nasional, bukan lagi KWTE. Taba menilai pemerintah pusat mengetahui informasi dari Batam hanya setengah-setengah. Ia meminta baik Pemerintah Pusat, BP Batam, maupun Pemko Batam bijak dalam menyelesaikan masalah Pulau Rempang ini.
“Tapi kenyataannya sekarang masyarakat di sana merasa dirugikan, mereka akan direlokasi, sedangkan sudah beranak-pinak di sana, bahkan sudah ada sebelum BP Batam dulunya Otorita Batam dan Kota Administratif Batam ada,” kata Taba Iskandar.
Menurut, Taba Pemerintah dan masyarakat perlu duduk kembali membahas soal relokasi yang akan dilakukan. Sebab kata Taba relokasi tersebut tidak tepat. Beda halnya masyarakat yang tinggal di Ruli (Rumah Liar) serta orang-orang yang membeli tanah di pulau Rempang tersebut.
“Jangan disamakan dengan penduduk asli atau tempatan, duluan mereka tinggal di situ sebelum terbentuknya BP Batam dan Kota Administrasi Batam,” kata Taba.
Taba menyarankan agar investasi ini jalan, sesuai dengan harapan masyarakat juga, baiknya konsep pengembangan Rempang didesain ulang dengan mengintegrasikan masyarakat tempatan ke dalam konsep pembangunan, tanpa melakukan relokasi.
“Kalau rumah tinggalnya tidak cocok dengan kawasan yang akan dijadikan pariwisata rumahnya yang diperbaiki, karena dia mencari makan di sana, bukan di tempatkan di rumah susun atau dibuatkan rumah lagi, kampung itu adalah bagian integrasi dari konsep pengembangan kawasan. Wisatawan pasti rindu juga dengan kearifan lokal,” kata Taba.
Kalau terpaksa direlokasi karena jumlah penduduknya sedikit dan masuk arena industri atau kawasan wisata bisa disatukan, tapi tidak jauh dari tempat sebelumnya. “Misal, di titik ini ada 5 KK, di titik ini ada 10 KK, itu kemudian disatukan, membuat kampung baru, tapi tak jauh dari lokasi awal. Dan yang paling penting proyek ini kan gak sekali jadi, pasti ada tahap-tahapnya,” kata Taba.
Pengembangan kawasan Rempang Eco-City ini berawal dari penandatanganan kerja sama antara Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dan PT Makmur Elok Graha pada 2004.
Kawasan Rempang Eco-City akan dibangun di area seluas 17.000 hektare. Di Pulau Rempang, terdapat 16 kampung tua. Mereka diyakini sudah mendiami pulau ini sejak 1834.
PT MEG yang merupakan grup dari Artha Graha, perusahaan milik Tomy Winata, menggaet investasi dari China, Xinyi Group.
Xinyi Group akan menggelontorkan USD17,5 miliar atau setara Rp264 triliun untuk membangun kawasan industri kaca dan panel surya terintegrasi di Rempang. Investasi ini disebut akan menciptakan 35.000 lapangan kerja.
Rempang Eco-City sendiri di bawah bendera MEG, disebut akan mendatangkan investasi Rp381 triliun hingga 2080 dan menciptakan 305.000 tenaga kerja.