Hal tersebut dilakukan demi memenangkan pesawat bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Lalu, Satar bersama Agus Wahjudo dan Hadinoto Soedigno melakukan persekongkolan dengan Soetikno Soedarjo untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat pada PT. Garuda Indonesia.
“Meskipun, jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebagai perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan full service,” ujar Jaksa.
Kemudian, Satar, Albert Burhan, M. Arif Wibowo dan Hadinoto Soedigno tanpa melalui rapat direksi memberikan persetujuan untuk pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa ada kajian yang memadai serta belum ditetapkan dalam RJPP maupun RKAP.
“Di mana Tipe pesawat tersebut tidak sesuai dengan sistem layanan penerbangan Low Cost Carrier PT. Citilink Indonesia yang kemudian dalam pengadaannya diambil alih oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk,” jelas jaksa.
Tak hanya itu, Satar disebut bersama Albert Burhan melakukan Pembayaran Pre Delivery Payment (PDP) Pembelian Pesawat ATR 72-600 kepada Manufactur ATR sebesar US$3,08 juta padahal mekanisme pengadaan ATR dilakukan secara sewa.
“Terdakwa Emirsyah Satar bersama dengan Albert Burhan melakukan pembayaran PDP pembelian Pesawat CRJ-1 000 kepada Bombardier sebesar 33.916.003,80 dolar AS (US$33,9 juta) padahal mekanisme pengadaan CRJ-1 000 dilakukan secara sewa,” jelas Jaksa.
Atas pebuatannya, Emirsyah Satar dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (tim)