EDITOR.ID, Jember,- Foto dan gambar Bupati Jember Faida masih terpampang di sejumlah fasilitas negara seperti mobil ambulan dan baleho iklan pemerintah. Padahal Bupati Faida kini sedang cuti dan mengikuti kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Jember, Jatim. Sehingga masalah fotonya yang terpajang di sejumlah fasilitas pemerintah belakangan menjadi sorotan publik.
Sejumlah kalangan menilai bupati Faida yang kini kembali mencalonkan lagi jadi calon bupati dan berkampanye, maka seluruh foto atau simbol sang Bupati Petahana pada semua fasilitas negara seperti website, media luar ruang, ambulance, dan apapun itu, secara harus dihapus atau ditiadakan demi menjaga kontestasi pilkada yang elegan.
Karena sejak mencalonkan kembali pada periode berikutnya dan ditetapkan KPU, Faida harus menjalankan masa cuti sebagai Bupati. Apalagi Faida memasuki masa mengikuti kampanye Pilkada.
Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Jember menyurati Pelaksana Tugas Bupati Abdul Muqiet Arief agar mencopot semua foto Faida dari fasilitas pemerintah, termasuk mobil ambulance desa. Desakan serupa juga muncul dari Panitia Khusus Pilkada DPRD Jember.
Doktor ilmu komunikasi Universitas Jember (UNEJ), Muhammad Iqbal, mengatakan, seluruh gambar, foto, atau simbol yang masih menampilkan diri petahana secara etis seharusnya sudah tidak boleh ada dan masif beredar di arena komunikasi publik. Ia melihatnya ada pelanggaran etika komunikasi.
“Secara nilai demokrasi, jika masih muncul, hak publik tentu dirugikan karena bisa menerima informasi atau salah persepsi yang menganggap petahana masih menjabat, padahal sudah cuti melepas mandat,†kata Iqbal di Jember, Jumat (2/10).
Selain itu, lanjut Iqbal, demokrasi pilkada menjadi tidak otonom dan tidak berimbang.
“Ini lantaran ada kekuasaan yang sedang memanfaatkan berbagai fasilitas kekuasaan, meski misalnya sebatas simbol,†ujarnya.
Iqbal membenarkan, jika demokrasi memberikan ruang terbuka bagi siapa saja untuk mengekspresikan diri atau mengejar kemenangan seperti dalam kontestasi pilkada.
“Tapi sistem demokrasi dan komunikasi politik sangat menuntut para kontestan agar tahu diri dan mematuhi etika komunikasi,†katanya.
Iqbal meminjam pemikiran dari pakar etika komunikasi publik Belgia, Boris Libois.
“Kebebasan berkomunikasi saling terkait dengan otonomi demokrasi. Artinya, prinsip-prinsip demokrasi, antara lain kesetaraan berkontestasi dan terjaminnya hak publik memperoleh informasi yang memadai tentang diri para calon dalam pilkada, hanya bisa otonom berlangsung jika etika berkomunikasi publik maupun politik dihormati dan dipatuhi,†jelasnya.