Oleh : Asri Hadi
Penulis adalah Dosen Senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Alumni Monash University Australia
Pemimpin Redaksi Indonews, Penulis
“Fakta adalah suci”, demikian bunyi kutipan yang ditulis oleh seorang penulis terkenal yang dikutip ulang oleh penulis dalam bukunya “Dari Jalan Tronojoyo 3 ke Calle Julio Verne 27″.
Hendrar Pramudyo meringkas buku yang ditulisnya dari catatan harian sang tokoh `multi talenta” yang dikaguminya, Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Drs. Ahwil Luthan, SH, MBA, MM dengan kutipan maha dasyat tersebut.
Hendrar Pramudyo tentunya punya alasannya mengutip kutipan tersebut. Ia menegaskan mengakui prestasi seseorang kadangkala memang lebih sulit dari pada menghujat kesalahan atau menunjuk kelemahan seseorang.
Demikianlah yang berlaku selama ini: “arena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Suatu prestasi yang pernah dicapai oleh seseorang dinafikkan sedemikian mudah karena beda pendapat atau tidak suka kepada seseorang yang mungkin berasal dari soal kecil dan tak terlalu penting.
Buku ini mengungkap beberapa sisi dari keberhasilan diplomasi Indonesia sekaligus mengungkap melemahnya diplomasi Indonesia di Meksiko. Merujuk pada refleksi penulis, ia mencatat bahwa komitmen yang tinggi kepada tugas dan pemikiran yang strategis adalah hal yang utama.
Suatu cermin dari komitmen yang tinggi terhadap tugas adalah kesanggupan mengatasi tugas seberapa pun berat dan bahkan dengan pengorbanannya. Kesan pertama adalah, jauh dari malas berfikir dan malas bertindak.
Tahun-tahun pertama Orde Baru diisi dengan gencarnya indoktrinasi ideologi pembangunan. Politik luar negeri juga diabdikan untuk pembangunan nasional. Karena Meksiko dianggap sama seperti negara berkembang lainnya, maka Perwakilan RI di negara itu kemudian menjadi perwakilan D-3 dalam perhitungan kebijakan luar negeri. Demikian juga kepada negara-negara Amerika Latin dan Afrika pada waktu itu.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak buku tentang dunia diplomasi yang ditulis oleh orang Indonesia. Hal ini sangat menggembimkan. Sebagiannya adalah buku yang ditulos oleh mantan Duta Besar tentang pengalamannya baik di tempat tugas tertentu maupun perjalanan karir diplomatik yang bersangkutan.
Namun sebagian lagi adalah buku yang disusun oleh staf KBRI tentang negara setempat atau peringatan sekian puluh tahun hubungan diplomatik negara tersebut dengan Indonesia.
Buku ini disusun oleh Hendrar Pramudyo dan rekan-rekannya, para staf KBRI Mexico City, mengenai visi, misi, dan kiprah Duta Besar mereka pada periode Oktober 2002 – November 2005, Komisaris Jenderal Polisi Drs. Ahwil Lutan SH, MBA, MM.
Fakta ini saja sudah menyiratkan satu prakarsa yang patut disambut baik dan dihargai. Di balik fakta ini, terdapat kemauan dan ketekunan dalam mengumpulkan, memilih, dan mengolah berbagai catatan, data dan informasi menjadi buku yang sangat informatif dan relatif mudah dibaca.
Lebih jauh lagi, hasil dari kemauan dan ketekunan itu teryata telah menepiskan kekhawatiran bahwa buku ini menjadi sekedar “kultus individu” atas seseorang. Kekhawatiran yang semula dimiliki oleh penulisnya maupun oleh Duta Besar Ahwil Lutan sendiri.
Tulisan-tulisan yang ada dalam buku akan memberi kenangan kepada rakyat Indonesia bahwa kedua bangsa yang letaknya sangat jauh tersebut teryata saling dekat dihati.
Hal-hal ringan dan canda yang menggelitik tentu saja perlu disisipkan supaya para pembaca menikmati dalam membaca buku ini, seperti cerita tentang warga Indonesia di negeri antah berantah di Amerika Tengah serta hantu yang konon tinggal di Wisma Duta dan kantor KBRI Mexico City.
Sejak awal buku ini sengaja disusun untuk memuat semua hal secara jujur dan terbuka sekitar kepemimpinan sang pemegang 10 Satya Lencana dari Pemerintah RI dan 2 bintang penghargaan dari luar negeri ini.
Seluruh staf, dan mungkin banyak orang lain, yang mengenal Duta Besar Ahwil Lutan secara pribadi sebagai sosok yang terbuka, taktis dan penuh perhitungan, serta sekaligus secara kedinasan sebagai seorang pimpinan yang akrab dengan anak buah namun tegas.
Penulis secara jujur dan berani membeberkan bagaimana sang Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BKNN) dan penerima Medali Kepeloporan dari Presiden Jokowi ini menjalankan protokoler secara proporsional sesuai waktu dan tempat sehingga tidak ada kesan feodal sama sekali.
Penulis mengatakan kepentingan pribadi Ahwil Luthan selalu diletakkan di bawah kepentingan dinas. Kehati-hatian juga sangat nampak bahkan untuk sesuatu yang belum dipikir orang akan terjadi.
Pada tahun terakhir penugasannya ia telah bersedia berpikir mengenai bagaimana melancarkan tugas dan kegiatan Duta Besar penggantinya untuk mencapai visi dan misi negara Republik Indonesia di Meksiko.
“Jangan pernah meninggalkan bom waktu untuk pejabat selanjumya”, demikian pesan yang selalu disampaikan sosok yang pernah menjabat sebagai Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) selama 12 tahun itu kepada staf.
Ia memang merasakan bagaimana ia harus bersusah payah menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya menjadi beban pejabat-pejabat sebelumnya. Padahal Ahwil Luthan bukan seorang diplomat.
Ia adalah seorang Komisaris Jenderal (Pol), yang sebelumnya berkantor di Markas Besar Kepolisian RI Jalan Trunojoyo 3, Kebayomn Baru, Jakarta, yang menapak karier dari bawah setapak demi setapak dengan penuh ketekunan mengabdi kepada negara hingga ke posisi yang ia sendiri tidak pemah bayangkan yakni menjadi Inspektur Pengawasan Umum Polri sejak 3o0 Mei 2001 hingga 31 Juni 2002.
Hal inilah yang mengilhami dan mendasari penulis memberikan judul “Dari Jalan Trunojoyo 3 Ice Call? Julio Verne 27?, karena kantor Kedutaan Besar RI di Mexico City terletak di Calle Julio Verne no.27, Polanco, Mexico City.
Buku ini ditulis dari catatan harian saat Ahwil Luthan menjabat sebagai Duta Besar RI untuk negara Meksiko, merangkap Panama, Honduras dan Costa Rica, dari bulan Oktober 2002 hingga Nopember 2005.
Ini adalah buku kedua yang penerbitannya disponsori oleh Kedutaan Besar RI Mexico City setelah buku pertama berjudul ?Catatan 50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia Meksiko 1953-2003? terbit tahun 2004.
Penulis mengatakan dalam memimpin Perwakilan RI di Mexico, Komisaris Jenderal (Polisi) Drs.Ahwil Lutan, SH, MBA, MM memang sama sekali tidak menerapkan Management by Anger namun lebih menyukai gaya Management by Participation.
Selalu dikatakan bahwa memimpin anak buah yang jumlahnya ribuan di batalyon kepolisian lebih rumit dan susah mengingat sarana dan prasarana instansi POLRI yang terbatas dari pada memimpin beberapa orang staff di KBRI Mexico City.
Ditunjang latar belakang pendidikannya sebagai seorang tamatan Akademi Angkatan Bersenjata RI (AKABRI) jurusan Kepolisian dan kemudian berdinas di bidang reserse dan pemberantasan narkotika serta memiliki sederat titel di bidang hukum, administrasi dan manajemen, Ahwil Luthan terbukti secara efektif dapat menggalang staff untuk mendukung dan mewujudkan visi dan misinya sebagai seorang Duta Besar RI.
Sebagai Duta Besar, beberapa saran juga telah disampaikan ke Depertemen Luar Negeri untuk meluruskan hal-hal yang tidak beres di instansinya yang baru. Obsesinya adalah organisasi yang rapih, eflsien dan efektif. Untuk mencapainya, maka yang bagus harus dibilang bagus dan yang masih jelek harus dibilang jelek untuk diperbaiki.
Sebagai interospeksi bagi kedua pihak sambil mengingatkan dasar-dasar persahabatan yang pernah dibangun Presiden RI Sukarno dan Presiden Mexico Lopez Mateos.
Dalam masalah peningkatan hubungan ekonomi melalui perdagangan, buku ini mencatat bahwa Ahwil Luthan nampaknya dapat melihat adanya inefisiensi yang perlu diatasi. Karena itulah ia mengusulkan kepada Menteri Perdagangan dan Industri Rini Suwandi perlunya mengadakan Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Meksiko.
Buku ini mencatat kesuksesan Ahwil Luthan di tengah- tengah kebuntuan dalam usaha meningkatkan hubungan ekonomi melalui perdagangan langsung antara kedua negara yang terjadi karena inefisiensi biaya transportasi dan adanya hambatan tarif di kedua negara.
Maka suatu terobosan penting berhasil dilakukan Ahwil Luthan adalah melalui penandatanganan kontrak pengapalan dan supply gas dari ladang Tangguh, Papua ke negara bagian Baja California, Meksiko mulai tahun 2008 selama 20 tahun senilai 24 milyar USD.
Berkat kelihaian diplomasi seorang Ahwil Luthan, kedua negara memang perlu berfikir ulang mengenai bagaimana mengubah (transform) hubungan baik yang telah berlangsung selama 50 tahun tanpa goncangan yang berarti menjadi suatu interaksi ekonomi yang menguntungkan kedua pihak.
Menurut Ahwil Luthan, untuk melompat lebih jauh, maka penyelesaian masalah investasi Perusahaan Semen Mexico, CEMEX, di Indonesia akan menjadi titik balik bagi kedua pihak. Apapun bentuk penyelesaian itu.
Buku ini juga memberi kesaksian bagaimana rakyat Meksiko sungguh-sungguh membantu dengan hati kepada korban gempa tsunami di Aceh yang terjadi pada akhir Desember tahun 2004. Bantuan itu merupakan ungkapan simpati rakyat Mexico atas bantuan yang pemah diterimanya dari dunia Internasional, termasuk Indonesia saat gempa bumi melanda negara itu.
Tolak Ditawari Jadi Kapolri
Hal menarik lainnya yang tentua membuat para pembaca boleh mengangkat topi tanda hormat kepada Komjen Ahwil Luthan adalah tentang kisahnya menolak jabatan Kapolri yang ditawarkan kepadanya.
Ahwil Luthan bercerita pernah dipanggil Presiden RI Abdurrahman Wahid usai mengisi acara Halo Polisi di Stasiun TV Indosiar pada waktu itu.
Sesuai aturan Komando yang berlaku di Kepolisian, maka ia segera melaporkan panggilan itu ke Kapolri yang saat itu dipegang oleh Jenderal (Pol) Bimantoro yang sedang berada di Bandar Udara Soekarno Hatta dalam perjalanan umroh ke tanah suci.
Ia memang tidak mau merusak sistem Komando dan rantai Komando yang berlaku di lingkungan Kepolisian RI atau yang dalam istilah Betawi sering memakai istilah ?menelikung atasan?.
Jawaban dari Jenderal Bimantoro adalah, ?Mas Ahwil menghadap saja, dan bila ditanya mengenai hal yang tery?adi dz? Kepolisian jawab sesuai keadaan yang sebenamya, termasuk bila ditanya soaljabatan Kapolri ?.
?Saya berjalan kaki menjumpai penjaga Paspampres di samping istana negara dan sempat dibentak dan saya katakan saya dipanggil Presiden,” demikian kenangnya. Salah seorang Paspampres lalu mengantarnya ke ruang ajudan Presiden RI, Kombes. Pol. Sutarman, yang langsung menyertainya ke ruang kerja Presiden di sayap kanan Istana Negara.
Setelah tanya jawab yang memakan waktu hampir 70 menit, ia memang ditanya soal jabatan Kapolri. Ahwil Luthan mengucapkan terima kasih atas panggilan dan tawaran jabatan yang diberikan oleh Presiden, namun ia menjawab dengan kerendahan hati, tawaran tersebut sebaiknya dilakukan melalui jalur yang berlaku.
“Saya tidak mau merusak sistem yang sudah berjalan baik di lingkungan Kepolisian karena saya dibesarkan oleh korpolisian,? itulah pendiriannya.
Keesokan harinya Ahwil Luthan bertemu dengan Sekretaris Militer Presiden Laksamana Madya Budi Santoso yang kebetulan satu angkatan di AKABRI sambil mengataka “kamu dipuji-puji Presiden dan dikatakan kamu polisi prof?sional, namum pendirianmu sangat kukuh untuk tidak melanggar sistem yang berlaku.”
Cerita ini penolakan halus Ahwil Luthan ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi dan situasi politik serta isu nasional yang akhir-akhir ini diwarnai dengan hasrat para tokoh nasional yang menghendaki jabatan tinggi dengan merusak sistem dan jalur yang sudah ada.
Secara intisari, buku ini memuat kisah, perjuangan, idealisme dan gaya diplomasi dari catatan harian seorang sosok “multi talenta” yaitu Komisaris Jendral Polisi (Purn) Drs. Ahwil Luthan, SH, MBA, MM, disusun secara menarik oleh Hendrar Pramudyo.
Selain itu, juga memuat visi misi dan ketokohan yang dan profesionalitas dalam menjalankan setiap tugas yang diemban dan diamanahkan kepadanya dengan jujur, bersih dan kredible.
Juga memuat betapa multi talennya tokoh kelahiran Pematang Siantar, Sumatra Utara, 1 Juni 1947 dan jenderal bintang tiga (3) ini.*