Asri Hadi dan Komunitas Satupena Bawakan Puisi “Nyanyian Angsa” dalam Retreat Penulisan di Puncak

Retreat Penulisan Satupena tidak hanya menjadi ajang untuk memeriahkan dunia sastra, tetapi juga sebagai platform untuk mempererat hubungan antar anggota komunitas penulis serta mengeksplorasi kreativitas mereka dalam bidang seni dan sastra.

Nyanyian Angsa

Jakarta, EDITOR.ID,- Dalam rangkaian acara Retreat Penulisan Satupena yang diadakan selama tiga hari dari 30 Agustus hingga 1 September 2024, anggota komunitas Satupena menyuguhkan penampilan istimewa dengan membawakan puisi “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra.

Acara ini berlangsung di Puncak, Bogor, dan menampilkan berbagai kegiatan yang memperkaya pengalaman penulis dan pecinta sastra.

Puisi yang terkenal dengan keindahan dan kedalamannya ini dibawakan dengan penuh emosi oleh para aktor yang terlibat, yaitu Rainer dan Denok Kristianti.

Penampilan tersebut diproduksi oleh Eka Budianta bersama Hari Manappo, dengan Anwar Putra Bayu sebagai sutradara, serta Asri Hadi bertanggung jawab dalam publikasi dan humas acara.

Retreat Penulisan Satupena tidak hanya menjadi ajang untuk memeriahkan dunia sastra, tetapi juga sebagai platform untuk mempererat hubungan antar anggota komunitas penulis serta mengeksplorasi kreativitas mereka dalam bidang seni dan sastra.

Puisi Nyanyian Angsa adalah puisi karya W.S. Rendra. Puisi ini berbicara tentang kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat.

“Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra. Aktor: Rainer, Denok. Produser: Eka Budianta, Sutradara: Anwar Putra Bayu, Produser: Hari Manappo, Publikasi dan Humas: Asri Hadi.

“Nyanyian Angsa”

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: