EDITOR.ID, Jakarta,- Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkapkan dalam momen pesta demokrasi tahun 2019 ini kebebasan berpendapat dimanfaatkan untuk membentuk opini negatif terkait penguasaan asing pada aset Indonesia, utang, pembangunan infrastruktur, serta stabilitas ekonomi.
Pernyataan ini disampaikan Faisal Basri dalam orasi kebudayaan kampanye ekonomi 2019 dengan tema “Panggung Kabaret Tek Jing Tek Jing”, di Soehana Hall, Energi Building, Jakarta Selatan, Kamis, (11/4/2019).
Acara ini digelar Perkumpulan Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang masih menjaga etika dan logika berpikir sehat.
Para ekonom FEUI yang dimotori oleh Faisal Basri menyampaikan orasinya untuk menampik berita bohong atau hoaks mengenai pandangan negatif ekonomi yang sengaja diciptakan dan disebarkan di masa Pilpres kali ini.
Dalam orasinya Faisal mengatakan salah satu konsekuensi hadirnya demokrasi di suatu negara adalah keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat.
Siapa saja diperbolehkan bicara apa saja sesuka hati. Namun bagi Faisal, hal tersebut harus dilengkapi dengan data agar layak dikatakan sesuai fakta.
“Siapa saja seakan boleh bicara apa saja sesuka hati. Padahal di alam demokrasi atau bukan, prinsip-prinsip kepatutan tetap berlaku. Siapa saja memang boleh bicara apa saja, sejauh hal itu didukung oleh fakta dan data. Apalagi kalau pendapat itu disampaikan kepada publik,” ucap Faisal di Energy Building, Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Demokrasi tanpa menghargai tatanan sosial, lanjut Faisal, bukanlah true democracy, karena kita akan berada on the dark side of democracy
Setidaknya, kata Faisal, ada beberapa isu dalam sektor ekonomi yang harus diluruskan karena menjadi serangan dalam momen pesta demokrasi tahun ini.
Faisal menilai mengumbar kebohongan dan perang omong kosong serta fitnah dalam kontestasi politik sudah semakin menjadi-jadi belakangan ini.
Jika hal tersebut dianggap wajar lalu pasrah untuk diterima maka Indonesia sedang membiarkan terjadi pengeroposan dalam sendi-sendi bermasyarakat dan bernegara.
“Membiarkan bias kognitif merajalela sama saja dengan meredupkan kewargaan (citizenry) yang lambat laun mengikis peradaban. Manusia beradab adalah manusia yang memelihara free will-nya dalam bingkai tatanan sosial; jika tidak, maka kita sudah menurunkan harkat dan martabat kita sendiri,” ujar alumni FEUI angkatan 78 ini.